REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Riris Andono Ahmad mengatakan, aparat harus konsisten menegakkan hukum terkait aturan larangan mudik Idul Fitri 1442 Hijriyah. Itu demi mengantisipasi 'tsunami' Covid-19 seperti yang terjadi di India.
"Sebab, orang Indonesia gemar mencari pembenaran. Misalnya, membenarkan mudik dengan alasan merasa dapat terhindar dari Covid-19 dengan dalih menerapkan protokol kesehatan," kata Riris Andono melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Ahad (10/5).
Menurut dia, penegakan hukum tidak cukup memberikan efek jera dan menumbuhkan kesadaran agar tidak mudik. Jika setiap individu mau disiplin mencuci tangan, menjaga jarak, memakai masker, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas, risiko penularan dapat dikurangi. "Namun, setiap orang tetap berisiko terpapar Covid-19 ketika mudik," katanya pula.
Ia menambahkan, masih ramainya masyarakat yang nekat mudik meskipun ada kebijakan larangan 6 hingga 17 Mei, hal tersebut bisa jadi karena program vaksinasi Covid-19 yang turut mendorong seseorang lebih berani mudik.
"Sekarang sudah ada vaksin, terus mereka merasa bisa mudik. Seperti di India kasus meningkat pesat karena mereka merasa sudah ada vaksin sehingga menjadi abai," ujarnya.
Ia mengatakan, 'tsunami' Covid-19 seperti di India memungkinkan terjadi di Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah mengantisipasi dengan kebijakan larangan mudik.
Jika banyak yang masih ngotot mudik dan mengabaikan protokol kesehatan, potensi terjadinya 'tsunami' Covid-19 seperti di India terbuka lebar. Terlebih, lagi berbagai kota sudah berstatus zona oranye dan merah yang menunjukkan penularan di tingkat lokal meluas.
Kemudian, ditambah pula adanya ancaman varian baru Covid-19 dari Inggris, Afrika Selatan, dan India yang telah masuk ke Indonesia.