Jumat 07 May 2021 20:49 WIB

Pukat UGM: Aziz Syamsuddin Harus Kooperatif

KPK harus membongkar keterlibatan Aziz karena memengaruhi penyidik KPK.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Agus Yulianto
Azis Syamsuddin
Foto: DPR RI
Azis Syamsuddin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin tidak dapat memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sedianya, Politisi Partai Golkar itu diperiksa terkait kasus suap yang melibatkan salah satu penyidik KPK, AKP Stepanus Robin Pattuju (SRP) pada Jumat (7/5). 

Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, Azis mengaku tidak bisa memenuhi panggilan karena masih ada agenda kegiatan yang dilakukan. KPK memastikan akan kembali memanggil yang bersangkutan. 

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai, sebagai pejabat negara Aziz Syamsuddin  seharusnya kooperatif dan bekerjasama dengan penegak hukum. Hingga kini, Aziz Syamsuddin belum mengeluarkan pernyataan terkait keterlibatannya yang disebut-sebut menjembatani pertemuan antara penyidik KPK dari kepolisian Stepanus Robin Pattuju (SRP) dan wali kota Tanjung Balai, M Syahrial (MS) di rumah dinas Wakil Ketua DPR RI di Jakarta Selatan pada Oktober 2020 lalu.

Zaenur menilai, kemungkinan Aziz Syamsuddin untuk menghindar atau bahkan melarikan diri sangat kecil, lantaran KPK telah meminta Imigrasi untuk mencekal Aziz. KPK, lanjut Zaenur, juga belum bisa menahan Aziz lantaran statusnya yang masih menjadi saksi. 

"Secara aturan, KPK harus segera menjadwalkan ulang memanggil AZ untuk dimintai keterangan, " kata Zaenur kepada Republika, Jumat (7/5). 

Dia mengatakan, KPK bisa saja menjerat Aziz dengan Pasal 21 tentang menghalang-halangi penyidikan KPK atau dengan Pasal 15 melakukan pemufakatan jahat agar perkara rasuah di Kota Tanjungbalai. Namun, penetapan tersangka dapat dilakukan bila KPK sudah memiliki alat bukti yang kuat dan itu menjadi tantangan sendiri bagi Komisi Antirasuah. 

"KPK punya tugas membongkar keterlibatan Aziz karena sebagai politisi bisa memengaruhi penyidik KPK. Ini sesuatu yang sangat berbahaya," tegas Zaenur 

Dia pun berharap KPK dapat profesional dalam menangani perkara ini. "Artinya, tidak ada pihak terlibat yang ditutupi, baik internal maupun eksternal KPK. KPK harus bisa membongkar tuntas agar kasus seperti ini tidak terulang pada masa depan," ujar Zaenur. 

Seperti diketahui, KPK menetapkan mantan wali kota Tanjung Balai, M Syahrial (MS) sebagai tersangka dugaan perkara penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara. Dia ditetapkan bersama dengan penyidik KPK dari kepolisian Stepanus Robin Pattuju (SRP) dan seorang pengacara Maskur Husain (MH).

SRP diduga melakukan pemerasan kepada MS agar KPK menghentikan penyidikan terhadap tersangka wali kota Tanjung Balai tersebut. Sedangkan Azis Syamsudin disebut-sebut menjembatani pertemuan antara SRP dan MS di rumah dinas Wakil Ketua DPR RI di Jakarta Selatan pada Oktober 2020 lalu.

Selanjutnya, SRP bersama MH sepakat untuk membuat komitmen dengan MS terkait penyelidikan dugaan korupsi di Pemerintah Kota Tanjung Balai untuk tidak ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyiapkan uang Rp 1,5 Miliar.

MS lantas menyetujui permintaan SRP dan MH dengan mentransfer uang secara bertahap sebanyak 59 kali melalui rekening bank milik teman dari saudara SRP, RA. MS juga memberikan uang secara tunai sehingga total uang yang telah diterima SRP Rp 1,3 Miliar.

Setelah uang diterima, SRP kembali menegaskan kepada MS dengan jaminan kepastian bahwa penyelidikan dugaan korupsi di Pemerintah Kota Tanjung Balai tidak akan ditindaklanjuti oleh KPK. Dari uang yang telah diterima oleh SRP dari MS, lalu diberikan kepada MH Rp 325 juta dan Rp 200 juta.

Untuk kepentingan penyidikan, tersangka SRP dan MH masing-masing untuk 20 hari ke depan terhitung mulai 22 April 2021 sampai dengan 11 Mei 2021. SRP di tahan pada Rutan KPK Gedung Merah Putih, MH ditahan di Rutan KPK Cabang Pomdam Jaya Guntur sedangkan MS saat ini masih dalam pemeriksaan di Polres Tanjung Balai.

Atas perbuatan tersebut, SRP dan MH disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 dan Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 UU No. 20 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement