REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Pers Ahmad Djauhar mengatakan, kebebasan pers yang semakin membaik saat ini, dihadapkan pada disrupsi yang salah satunya berasal dari perkembangan media sosial (medsos).
"Masih terdapat beberapa 'kerikil tajam' yang sering mendisrupsi kemerdekaan dan kebebasan pers itu, terutama di provinsi tertentu. Disrupsi itu kadang berasal dari teknologi, yakni media sosial yang tidak mengusung jurnalisme," ujar Djauhar dihubungi di Jakarta, Senin (3/5).
Djauhar menyampaikan pendapat itu bertepatan dengan peringatan Hari Kebebasan Pers Se-Dunia atau World Press Freedom Day pada 3 Mei 2021. Dia mengatakan, kondisi kebebasan pers secara keseluruhan cenderung semakin membaik. Hal itu terbukti dari hasil survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) yang diselenggarakan Dewan Pers di 34 provinsi seluruh Indonesia.
Hanya saja, disrupsi dari pelaku medsos yang tidak mengusung jurnalisme, menjadi tantangan tersendiri bagi kemerdekaan dan kebebasan pers."Karena mereka, untuk beberapa kasus justru membuat keruh informasi yang seharusnya diterima dengan jernih oleh masyarakat," jelasnya.
Djauhar yang juga merupakan Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers menyampaikan, jika saja para pelaku medsos menjiwai jurnalisme, apa yang disampaikan dapat memperkaya khasanah informasi di kalangan masyarakat. Jurnalisme, kata dia, pada dasarnya adalah prinsip memverifikasi setiap informasi yang disampaikan kepada khalayak.
Sehingga, khalayak menerima informasi yang betul-betul valid atau sahih. Dalam hal ini, menurut dia, apabila terdapat informasi yang kurang jernih, maka pers sebagai institusi media pengusung jurnalisme bertugas untuk membuatnya sejernih mungkin dan memperkaya informasi itu dari berbagai sudut pandang.
"Sehingga sempurna lah informasi tersebut selayaknya kebutuhan masyarakat di alam demokrasi ini," jelas Djauhar.