Kamis 29 Apr 2021 23:50 WIB

KontraS Papua: Pelabelan Teroris Terhadap KKB Berbahaya

"Pemerintah terlalu tergesa-gesa merespons situasi Papua saat ini," kata Sam.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Andri Saubani
Personel Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang beroperasi di Papua.
Foto: Istimewa
Personel Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang beroperasi di Papua.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator KontraS Papua, Sam Awom, melihat pengategorian kelompok kriminal bersenjata (KKB) sebagai organisasi teroris oleh pemerintah tak akan menyelesaikan konflik di Papua. Pengategorian tersebut pun dinilai terlalu luas dan berbahaya bagi kelompok-kelompok yang berupaya mencari jalan perdamaian konflik yang selama ini terjadi.

"Terlalu luas. Ini kayaknya pemerintah terlalu tergesa-gesa dengan merespons situasi Papua saat ini," ujar Sam kepada Republika lewat sambungan telepon, Kamis (29/4).

Baca Juga

Dia melihat, pemerintah terlalu tergesa-gesa setelah Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Papua gugur karena tembakan KKB. Semestinya, kata dia, investigasi menyeluruh terkait kejadian tersebut dilakukan terlebih dahulu untuk mengetahui segala persoalan yang menyebabkan Kabinda Papua tertembak.

"Ini kan perlu investigasi kasus penembakan dulu. Tapi ini tergesa-gesa kemudian menjustifikasi bahwa KKB seperti itu (kelompok teroris)," kata Sam.

Sam sepakat pengategorian KKB tanpa menyebut kelompok atau orang mana saja yang terlibat sebagai teroris itu terlalu luas dan bahaya. Kelompok-kelompok yang tengah berupaya mencari solusi perdamaian, bisa merupakan kelompok mahasiswa, kelompok pemuda, kelompok adat, maupun kelompok agama, mungkin saja ke depan akan dikategorikan sebagai pendukung terorisme.

"Kelompok-kelompok yang terkait itu tidak tahu, bisa jadi kelompok mahasiswa, pemuda, kelompok adat, agama itu bisa semua dikaitkan dengan KKB. Mungkin dia berkomunikasi untuk mencari solusi perdamaian dikategorikan sebagai pendukung terorisme," ungkap Sam.

Selain itu, masyarakat sipil juga dia khawatirkan akan terdampak dari keputusan politik pemerintah tersebut. Masyarakat sipil, kata dia, bisa saja dicurigai dan kemudian ditetapkan sebagai teroris ketika dia memiliki hubungan dengan KKB.

"Bisa langsung dijustifikasi atau dari kampung tertentu atau desa tertentu, bisa jadi dikategorikan sebagai terorisme," kata dia.

Dia menerangkan, itu bisa saja terjadi karena wilayah-wilayah yang kerap terjadi konflik antara aparat keamanan dengan KKB berada di medan yang sulit, bisa berupa hutan lebat dan cuaca ekstrem. Akses informasi pun sulit didapatkan oleh jurnalis maupun yang lainnya di wilayah-wilayah tersebut.

"Masyarakat sipil yang akan jadi korban paling rentan ya karena mereka ada di wilayah-wilayah yang sulit terjangkau untuk akses jurnalis dan lainnya," kata Sam.

Kemudian, dia juga menyampaikan, pengategorian tersebut juga dapat semakin meningkatkan eskalasi yang sudah naik belakangan ini. Pemerintah pun disebut lalai dalam mendengar masukan-masukan dari para pegiat hak asasi manusia (HAM) dalam menyelesaikan konflik di Papua.

"Justru hari ini pemerintah menunjukan sikap yang lebih memungkinkan akan banyak intervensi atas sikap pemerintah saat ini. Intervensi dari luar ya, intervensi internasional menyangkut sikap pemerintah menetapkan KKB sebagai terorisme," jelas dia.

Sam mengatakan, dalam menyelesaikan situasi konflik di Papua Presiden Joko Widodo semestinya jangan dikelilingi oleh orang-orang dari kalangan militer. Presiden, kata dia, harus mendengar seruan perdamaian dari para pegiat HAM yang ada di Indonesia maupun lembaga keagamaan di Papua.

"Juga lembaga keagamaan, tokoh Papua, gereja, tokoh birokrasi Papua. Mencari solusi perdamaian lewat resolusi konflik yaitu berunding. Saya pikir kata berunding ini Jakarta tak perlu takut, tapi mencari format perdamaian yang abadi untuk Papua yang lebih damai," tutur dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement