REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Kasus prostitusi online yang melibatkan anak di bawah umur di kawasan Tebet, Jakarta Selatan menghebohkan masyarakat baru-baru ini. Setelah ditelusuri, ternyata mucikari atau penyalur jasa seksnya juga ada yang masih di bawah umur.
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengatakan, fenomena ini terjadi lantaran beragam faktor. “Faktor-faktor yang menyebabkan anak-anak terperangkap prostitusi adalah tingginya permintaan untuk layanan seksual anak, alasan ekonomi, pendidikan dan juga pengaruh lingkungan,” ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (25/4).
Dia mengatakan, dalam perspektif hak anak, anak yang belum berusia 18 tahun tidak dapat memberikan persetujuan seks. Sehingga, berhubungan seksual dengan anak adalah tindak pidana.
Dari sisi hukum, jika perantara prostitusinya adalah anak di bawah umur juga, maka pelaku dan korban disebut dengan ABH (Anak Berhadapan dengan Hukum). Maka, pola penanganannya khusus yaitu merujuk pada UU Perlindungan Anak dan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Sementara itu, Seksolog Klinis, Zoya Amirin, menjelaskan, maraknya prostitusi anak di bawah umur sudah terjadi sejak lama. Bicara prostitusi anak di Indonesia, kata Zoya, erat kaitannya dengan mitos soal keperawanan.
“Ada semacam mitos kalau anak-anak yang laku itu umur 16-an tahun. Jadi, benar-benar melewati masa pubertas, tapi istilahnya lagi matang-matangnya,” terangnya kepada Republika.co.id.
Hal ini tampak pada tanda-tanda seksual sekundernya seperti payudara dan bentuk tubuh. Di samping itu, remaja yang masih perawan diasumsikan belum berpengalaman dan memiliki pelanggan lain. Dari segi hukum, hal ini tentu melanggar UU Perlindungan Anak.