Liberalisasi Ekonomi
Rencana impor beras satu juta ton menimbulkan kontroversi berkepanjangan. Bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sudah menghitung besaran dari rente ekonomi tersebut. Nilainya bisa sampai Rp 1 triliun.
Ekonomi politik perberasan itu sekaligus akan ‘membunuh’ para petani. Apalagi rencana impor itu dilakukan justru pada saat terjadinya panen raya pada bulan Ramadhan dan perayaan Hari Raya Idul Fitri tahun ini.
Panen raya membuat harga gabah jatuh, itu pasti. Impor beras akan membuat harga gabah jatuh pada titik terendah. Bahkan lebih rendah dari harga pembelian pemerintah (HPH) sebesar Rp 4.200 per kg. Dengan demikian publik akan tahu bahwa ‘pembunuh’ petani justru adalah pemerintahnya sendiri. Ini ironi sebuah negeri agraris. Semoga tidak terjadi.
Mari kita tarik mundur ke belakang terlebih dahulu. Bagaimana kaitannya Bulog dengan ketahanan pangan? Diawali dengan liberalisasi pangan. Pada tahun 1998 dengan mencabut subsidi pupuk, melepas tata niaga pupuk, dan menghapus pembiayaan KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia). Termasuk membuka kran impor beras seluas-luasnya, yang tidak lagi dimonopoli Bolog serta penerapan tarif impor nol persen.
Padahal pada periode sebelum tahun 1994, Indonesia tercatat sebagai negara pengekspor pangan. Bahkan telah berswasembada beras pada tahun 1984. Sehingga periode setelah tahun 1994, Indonesia tercatat sebagai negara pengimpor pangan. Tidak hanya beras, tetapi juga gula, kacang kedelai, dan lain sebagainya. Inilah benih ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan dari luar negeri hingga saat ini (Sugeng Bahagijo, 2006).
Jangan lupa ada momentum 1 Januari 2010. Di situ, secara resmi diimplementasikan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). Indonesia sebagai salah satu negara anggota ASEAN, harus menaati perjanjian ACFTA ini. Masuknya sektor pertanian sebagai salah satu fokus dalam FTA dengan China ini, berpotensi akan membanjirnya bahan pangan impor. Sekaligus terpuruknya sektor pertanian Indonesia.
Betapa tidak. Dalam perjanjian itu, kedua pihak harus secara bertahap menurunkan tarif produk yang kompetitif secara global lebih cepat daripada produk yang sensitif. Dampaknya, Indonesia harus menghapuskan secara progresif semua hambatan tarif dan nontarif dalam semua perdagangan barang.
Jika pada 2004, tarif bea masuk ke Indonesia dalam skema ACFTA masih sebesar 9,9 persen, pada 2010 sudah turun drastis menjadi 2,9 persen. Maka jangan heran, pada 2021 ini, misalnya, produk-produk China kini semakin membanjiri pasar Indonesia.
Apakah kita harus berpangku tangan? Jawabannya, kita justru harus mandiri. Kemandirian pangan harus dimulai dari pemerintah. Harus ada perubahan mind-set pemerintah Indonesia bahwa impor hanya bersifat pelengkap. Bukan menjadi komponen pertama dan utama.