Ahad 18 Apr 2021 00:45 WIB

Bapakku Bukan Perekayasa Politik

Rekayasa macam mana yang membuat rombongan Cak Imien sujud syukur di MA?

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Foto:

Oleh : Alissa Wahid, Putri KH Abdurahman Wahid (Gus Dur)

Dokter dari berbagai penjuru dunia memberikan respons yang sama atas catatan medis Bapak, “Ini pasien ajaib: dengan kondisi fungsi tubuh seperti ini, masih bisa bertahan begini.” Kami tahu, hanyalah keajaiban itu yang sanggup menopang tekanan psikis, dan entah berapa lama. Itu sebabnya, Ibu sangat sulit untuk menerima perlakuan PKB Cak Imin kepada Bapak, sampai saat ini.

Mei 2009, Bapak berkunjung ke Jogja. Bapak bilang, “Lis, kamu punya uang yang bisa Bapak pinjam?” Berapa dan untuk apa, tanya saya. “Ya untuk pegangan saja, 5 juta cukup.Bapak nggak punya uang sama sekali.” Bapak saya adalah orang yang mandiri, kalau sampai minta uang kepada saya, berarti sudah berat sekali bagi Bapak.

Saya telpon Yenny sambil menangis. Kok bisa, Bapak sampai tak punya uang, bahkan sesedikit itu. Kok bisa, mereka-mereka yang khianat kepada Bapak hidup bergelimang kemewahan sedangkan Bapak tak punya uang di kantungnya. 

Bahkan menulis paragraf di atas ini pun, saya tak mampu menahan air mata. Menyakitkan sungguh, walau juga semakin membuat saya sadar betapa Bapak jauh dari godaan harta dan kekuasaan.

Pertengahan 2009 itu kondisi Bapak memburuk. Banyak orang menjenguk Beliau di RS, dan lazimnya orang Indonesia, menitipkan belarasa urunan biaya perawatan. Bapak mengumpulkan amplop-amplop ini di dalam laci kantor di PBNU. Lebaran 2009, saya tanya ke Bapak apakah Beliau akan memberikan THR khusus ke staf Ciganjur. Jawabannya tidak dan agar saya yang memastikan mereka mendapatkan THRnya. 

“Bapak sedang mengumpulkan uang untuk Muktamar PKB, nak. Imin sudah nggak bisa dibiarkan terus-terusan begini.” Demikian kata Beliau saat itu. Beberapa kali Bapak bercerita soal bagaimana PKB harus diperbaiki dan tidak boleh dipegang oleh cak Imin. 

Saat itulah definitif saya memahami bahwa Bapak masih berupaya keras untuk memperjuangkan PKB dari cengkeraman orang-orang yang tak amanah, walau secara de facto Beliau sudah tidak berdaya. Ada beberapa orang PKB Cak Imin yang masih diterima saat menjenguk, tetapi tidak dengan kelompok terdekat Imin.

Setelah Bapak wafat pun, ada seorang teman Bapak (sekarang seorang tokoh nasional) yang mengatakan ke saya bahwa ia sedang diminta Gus Dur mencari donasi untuk persiapan Muktamar PKB Gus Dur di tahun 2010. Ia menyerahkan uang yang sudah berhasil dikumpulkannya kepada Ibu. Memang, niat Gus Dur untuk Muktamar sangat kuat, sebagai respons terhadap keputusan MA tentang legalitas PKB yang jatuh ke tangan Cak Imin.

Semua pengalaman inilah yang membuat saya ngenes dengan ‘tawaran narasi’ dari entah siapa di kubu PKB Cak Imin. Menyatakan bahwa konflik antara PKB Cak Imin dengan Gus Dur adalah rekayasa, bagi saya sama saja dengan menghina Bapak dengan amat sangat.

Seorang Gus Dur, sekuat apapun seajaib apapun, tak akan mampu merekayasa kondisi fisiknya. Menyatakan bahwa konflik ini adalah rekayasa Gus Dur, adalah sama dengan menyatakan bahwa Gus Dur gila. Itu berarti menyatakan bahwa Bapak merekayasa konflik untuk strategi politik, lalu terkena sendiri dampak fisik dari permainannya, sehingga bahkan harus tinggal di Rumah Sakit. 

Seorang Gus Dur tak mungkin mempermainkan mekanisme hukum sampai di Mahkamah Agung untuk mendapatkan kejelasan hukum mengenai partainya, hanya demi rekayasa. Gus Dur adalah pejuang demokrasi, yang setia dengan prinsip keadilan dan pembebasan. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement