Sabtu 17 Apr 2021 17:10 WIB

Ekonomi Belum Pulih, Fraksi PKS Tolak Kenaikan TDL

Harga listrik di Indonesia sudah mahal dibandingkan harga beberapa negara ASEAN. 

Rep: Ali Mansur / Red: Agus Yulianto
Warga mengisi token listrik di permukiman.
Foto: ANTARA/Saiful Bahri
Warga mengisi token listrik di permukiman.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI menolak rencana Pemerintah melaksanakan penyesuaian tarif dasar listrik (TDL). Pasalnya, penyesuaian TDL di saat pandemi adalah langkah yang tidak tepat, mengingat kegiatan ekonomi masyarakat belum pulih benar. 

"Selain itu harga listrik di Indonesia sudah mahal dibandingkan harga listrik beberapa negara ASEAN bahkan dengan China," terang Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (17/4).

Mulyanto menjelaskan, data dari Globalpetrolprice.com menyebutkan harga listrik untuk rumah tangga di Malaysia, Vietnam dan China masing-masing sebesar Rp 895/kWh, Rp 1.190/kWh, dan Rp 1.219/kWh. Sementara harga listrik PLN untuk pelanggan rumah tangga rata-rata Rp 1.467/kWh. Harga listrik di Thailand lebih mahal dari Indonesia, yakni sebesar Rp 1.771/kWh.

"Harga listrik rumah tangga di Indonesia hampir dua kali lipat dari harga listrik rumah tangga di Malaysia dan masih jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga listrik di Laos, Vietnam dan China," keluh Mulyanto.

Kemudian, kata Mulyanto, untuk harga listrik pelanggan bisnis, dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, Vietnam dan China, termasuk Thailand harga listrik PLN memang jauh lebih murah. Hal ini menurutnya, berbeda dengan Malaysia atau Vietnam yang lebih memilih kebijakan penyediaan listrik murah bagi kebutuhan pelanggan rumah tangga. 

"Indonesia lebih memilih kebijakan menyediakan listrik murah untuk pelanggan bisnis," jelas Mulyanto. 

Mulyanto menambahkan, PKS usul ke depan Pemerintah perlu mengkaji secara seksama kebijakan harga listrik ini agar lebih adil dan berpihak kepada masyarakat kecil ketimbang kepada para pengusaha. Selain itu, PLN harus terus-menerus melaksanakan efisiensi yang berkeadilan atas angka BPP (biaya pokok pembangkitan listrik)-nya.  

"Masak harga listrik kita kalah murah dibandingkan dengan Malaysia. Ini kan aneh," imbuh Mulyanto. 

Selanjutnya Mulyanto juga minta PLN untuk negosiasi ulang mengenai jadwal operasi pembangkit baru agar tidak semakin menekan keuangan PLN. Ia menegaskan jangan sampai program 35 ribu MW semakin menambah surplus listrik yang sudah lebih dari 30 persen. Sehingga pada akhirnya membuat PLN terkena penalti untuk membayar take or pay (TOP) atas listrik yang tidak digunakannya.

"Ini kan mubazir, yang ujung-ujungnya menjadi beban keuangan Negara. Jangan sampai masyarakat berpikir negatif bahwa kenaikan tarif listrik ini terjadi karena PLN didikte oleh pengusaha listrik swasta (IPP)," kata Mulyanto. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement