Kamis 15 Apr 2021 07:55 WIB

'Amandemen UUD Celah Perpanjangan Masa Jabatan Presiden'

Wacana mengubah atau mengamandemen UUD 1945 muncul dengan berbagai alasan.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Agus Yulianto
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil, wacana amandemen UUD menjadi celah memperpanjang masa jabatan presiden,
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil, wacana amandemen UUD menjadi celah memperpanjang masa jabatan presiden,

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan, perpanjangan masa jabatan presiden melebihi dua periode merupakan hal yang inkonstitusional. Sebab, Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 secara tegas menyebutkan, presiden dan wakil presiden menjabat selama lima tahun dan hanya bisa diperpanjang satu kali.

Namun, wacana mengubah atau mengamandemen UUD 1945 muncul dengan berbagai alasan di luar soal masa jabatan presiden dari sejumlah partai politik.  Menurut peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, amandemen konstitusi ini dapat menjadi pintu perpanjangan masa jabatan presiden.

"Meskipun tidak langsung kepada masa jabatan presiden. Masuk melalui pintu usulan-usulan di aspek yang lain," ujar Fadli dalam diskusi daring, Kamis (15/4).

Misalnya, merevisi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), penataan kewenangan lembaga negara, dan isu lainnya yang diusulkan melalui proses amandemen UUD 1945. Jika amandemen konstitusi dibuka, bisa saja ada usulan menambah masa jabatan presiden.

Menurut Fadli, upaya membuat masa jabatan presiden menjadi tiga periode bertentangan dengan semangat reformasi. Sebab, fokus reformasi salah satunya membatasi masa jabatan agar tidak dipimpin satu aktor politik.

"Kita kan punya pengalaman yang sangat cukup bagaimana kemudian masa jabatan presiden itu dipegang oleh satu orang dalam jangka waktu yang sangat lama selama Orde Baru 32 tahun," tutur Fadli.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Feri Amsari, menambahkan, masa jabatan presiden dibatasi agar yang bersangkutan tidak terjebak menjadi otoriter. Hal ini merupakan amanat Pasal 7 UUD 1945 yang menjadi jantung reformasi.

"Salah satu pasal jantung reformasi konstitusi ya Pasal 7 itu, memberikan batasan kepada presiden agar presiden tidak terjebak pada otoritarianisme dan menjadi seperti raja," ujar Feri.

Dia menolak jika Pasal 7 tersebut dimaknai agar masa jabatan diperpanjang lebih dari dua periode ketika presiden saat ini mampu menggabungkan polarisasi warga negara. Justru presiden harus mampu memberikan yang terbaik warga negara ketika masa jabatannya akan berakhir.

Dia menegaskan, Pasal 7 UUD 1945 merupakan aturan main yang harus ditegakkan, itu pun dengan sejumlah batasan dalam sistem kekuasaan presiden. Dengan demikian, masa jabatan presiden tidak bisa diperpanjang lebih dari dua periode hanya karena presiden saat ini dinilai baik.

"Jadi aturan main konstitusionalnya sudah jelas, soal rakaat dalam sistem presidensial itu lima tahun dua kali periode. Jangan kemudian karena dia baik lalu kemudian dia diperpanjang," kata Feri.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement