Rabu 14 Apr 2021 23:02 WIB

Kasus BPJS Naker, Petinggi PT Syailendra Capital Diperiksa

Ada lima petinggi PT Syailendra Capital yang diperiksa Kejagung hari ini.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Andri Saubani
Ilustrasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Jampidsus-Kejakgung) melanjutkan kembali penyidikan dugaan korupsi yang terjadi di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Naker). Jampidsus memeriksa lima orang, petinggi dari PT Syailendra Capital dalam lanjutan penyidikaan kasus tersebut.

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Leonard Ebenezer Simanjuntak mengatakan, mereka yang diperiksa, yakni H, MS, AS, dan SJ, serta FRH. Saksi H, mengacu pada nama Harnugama ang diperiksa sebagai direktur pemasaran di PT Syailendra Capital.

Baca Juga

Adapun saksi MS, mengacu pada nama Mulia Santoso, yang diperiksa selaku kepala ekuitas di perusahaan sekuritas yang sama. Sementara, saksi AS, yakni Ahmad Solihin yang diperiksa dalam kapasitasnya selaku direktur investasi di PT Syailendra Capital.

Saksi SJ, yakni Saida Jusuf diperiksa terkait perannya selaku kepala institusional Syailendra Capital. Terakhir, saksi FRH, mengacu pada nama Fajar R Hidayat yang diketahui selaku direktur utama (dirut) Syailendra Capital.

“Pemeriksaan saksi-saksi tersebut, dilakukan untuk mencari keterangan untuk kepentingan penyidikan perkara dugaan korupsi yang terjadi di BPJS Ketenagakerjaan,” ujar Ebenezer, dalam keterangan resmi, Rabu (14/4).

Penyidikan dugaan korupsi BPJS Naker, terkait penyimpangan pengelolaan dana ke dalam investasi saham dan reksa dana. Direktur Penyidikan Jampidsus Febrie Adriansyah pernah mengatakan, BPJS Naker mengelola dana investasi dari nasabah sekitar RP 400-an triliun.

Dalam investasi saham dan reksa dana, sekitar Rp 43 triliun. Yang menjadi fokus penyidikannya, soal investasi saham dan reksa dana yang merugi sekitar Rp 20 triliun.

Nilai kerugian tersebut, Febrie mengatakan, belum dinyatakan sebagai kerugian negara. Meskipun, kata dia, penyidik meyakini ada dugaan perbuatan pidana dalam keputusan BPJS Naker mengelola, dan melakukan transaksi inevstasi saham, serta reksa dana. Akan tetapi, sejak penyidikan dilakukan, Februari 2021 tim penyidikan di Jampidsus belum menetapkan satu pun tersangka dalam kasus ini.

Jampidsus Ali Mukartono mengatakan, tim penyidikannya masih mendalami perbuatan hukum dari seluruh transaksi investasi saham dan reksa dana yang dilakukan BPJS Naker. Ali menerangkan dari penyidikan sementara ini, dipastikan adanya angka kerugian dalam pengelolaan investasi yang dilakukan BPJS Naker.

“Bahwa dalam penyidikan BPJS Ketenagakerjaan ini, kerugian (negara) itu ada. Tapi, apakah ada perbuatan melawan hukum, atau bukan, itu yang tidak gampang,” terang Ali.

Ali menerangkan, temuan angka kerugian dalam kasus BPJS Naker, tak serta merta dapat menjadi basis penetapan tersangka. Menurut dia, penyidikan korupsi, kerugian negara, harus dibarengi  perbuatan melawan hukum. Sebab itu, Ali menerangkan, fokus penyidikan saat ini memastikan ada atau tidak perbuatan melawan hukum dalam keputusan transaksi, dan pengelolaan investasi.

“Itu yang sedang kita dalami. Dan belum ada kesimpulan (untuk menetapkan tersangka). Kalau sudah ditemukan (perbuatan melawan hukum), pasti kita minta untuk segera diekspose penetapan tersangka,” terang Ali.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement