REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) Tahun 2020-2024 dinilai merupakan iktikad pemerintah dalam menangani terorisme. Menurut Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputro, RAN PE merupakan kebijakan yang berupaya mengoordinasikan antarpemangku kepentingan di Indonesia untuk memerangi terorisme.
Ardi mengatakan, strategi pemberantasan terorisme di Indonesia sebelumnya tidak terkoordinasi dengan baik. Karena itu, RAN PE hadir untuk memperbaikinya. "Memang sebelumnya tidak ada koordinasi yang baik. RAN PE ini lahir untuk menjembatani atau menginstitusionalisasi," kata dia dalam seminar bertajuk “Indonesia di Tengah Tantangan Terorisme” di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Sabtu (10/4).
Di forum yang sama, Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno berpendapat perlunya pelibatan masyarakat dalam penanganan terorisme di Indonesia. Bahkan, jika perlu dimasukkan sebagai materi wajib sekolah.
"Jalan panjang terorisme ini menjadi PR buat kita semua, bukan saja terorisme ini ditangani oleh polisi, TNI maupun Presiden," kata Adi.
Hal senada disampaikan Dosen President University Muhammad AS Hikam. Selain masyarakat sipil, menurut dia, keterlibatan kelompok tokoh agama juga tak kalah penting. Karena dengan peran mereka, setidaknya masyarakat bisa tercerahkan pemahamannya dan dibimbing secara spiritual dengan baik.
“Peran deradikalisasi dengan keterlibatan kelompok agama sangatlah penting, bukan hanya kelompok agama tertentu tetapi semua kelompok agama harus terlibat dalam peran deradikalisasi, karena mereka ini bisa masuk kemana saja dengan berbagai macam cara,” jelasnya.
Sementara itu, pengamat terorisme Noor Huda Ismail lebih menekankan pada penerapan RAN PE. Ia berharap agar regulasi tersebut tidak dijadikan sebagai alat politik yang justru dapat melahirkan musuh baru.
"Tantangan implementasi RAN PE yakni ego sektoral dan dalam implementasi antarlembaga negara, sehingga RAN PE tidak mejadi alat politik kepentingan yang melahirkan musuh baru," katanya.