REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di Madinah, Juhaiman al-‘Utaibi bergabung dengan kelompok al-Jama’ah as-Salafiyah al-Muhtasiba yang didirikan pada pertengahan 1960-an oleh sejumlah murid Syekh al-Albani. Pada mulanya, Juhaiman termasuk taat pada pemuka gerakan tersebut. Ia ikut menggalang dana untuk kelangsungan organisasi ini, mengikuti jejak Syekh Abdul Aziz bin Baz--seorang ulama Arab Saudi yang kelak pada 1993-1999 menjadi mufti utama Kerajaan.
Selama di Kota Nabi, Juhaiman al-‘Utaibi tinggal di sebuah tempat tinggal sederhana yang cukup dekat dengan Masjid Nabawi. Beberapa tahun menetap di sana, ia memiliki sejumlah pengikut setia, terutama dari mereka yang berusia lebih muda. Para simpatisannya itu mengikuti laku hidupnya yang berusaha menjalani rutinitas “sebagaimana petunjuk Alquran dan Sunnah.” Nash-nash sering kali dibaca secara harfiah untuk membenarkan kesehariannya.
Juhaiman menyebut para pengikutnya sebagai penghuni “rumah untuk para kawan” (Bait al-Ikhwan). Kemudian, pada 1977 Syekh Ibnu Baz bertolak ke Riyadh—ibu kota Saudi. Perlahan namun pasti, Juhaiman sejak saat itu menjadi pemimpin de facto di al-Jama’ah as-Salafiyah al-Muhtasiba, khususnya dalam hal merekrut pemuda-pemuda. Seiring dengan meningkatnya pengaruh dirinya, ia pun mulai membangun kekuatan di internal organisasi tersebut.
Maka, terpecahlah al-Jama’ah as-Salafiyah al-Muhtasiba menjadi dua kubu, yakni kaum tua dan kaum muda yang dipimpin Juhaiman. Dalam suatu kesempatan, Juhaiman menuding bahwa golongan tua telah berkhianat pada “Islam yang sesungguhnya” karena mereka dinilainya sudah menjual diri pada penguasa Saudi.
