REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh, Al Chaidar menyarankan pemerintah agar mengevaluasi dan meninjau kembali program deradikalisasi. Ia menilai program tersebut tidak berjalan efektif.
"Khususnya program kontra narasi yang menurut saya tidak efektif. Sebab, secara ilmiah itu tidak bisa dipakai menghadapi radikalisme dan terorisme," katanya, Senin (5/4).
Seharusnya, program yang dapat dipakai oleh pemerintah dalam mencegah aksi-aksi terorisme dan radikalisme ialah program kontra wacana dan humanisasi serta ratifikasi Konvensi PBB 2008 tentang daftar organisasi teroris. Selanjutnya, langkah yang mesti dilakukan pemerintah ialah reformasi dan birokrasi hukum mengenai terorisme tanzim atau mobile yang bisa ditangani polisi.
Pelaku yang ditangkap harus dibawa ke pengadilan sipil.Sementara, terorisme tamkin yang merupakan terorisme teritorial dan organik harus ditangani secara khusus oleh TNI atau aparatur militer. Pelaku yang ditangkap disarankan diadili di meja pengadilan militer pula.
"Dan dihukum secara militer pula," ujarnya.
Menurut Al Chaidar, langkah-langkah evaluasi dan perbaikan program deradikalisasi harus segera dilakukan pemerintah agar jaringan terorisme di Tanah Air dapat diselesaikan secepatnya. Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia PP Muhammadiyah,Trisno Raharjo,berpendapat ada beberapa hal yang menyebabkan tindak pidana terorisme tidak dapat atau sulit dihentikan di Indonesia.
"Pertama, pola penanganan di luar sistem peradilan pidana yang lebih kepada mematikan bukan melumpuhkan," katanya.
Selain itu, program deradikalisasi perlu dievaluasi secara mendasar. Sebab, sasaran-sasaran yang akan dideradikalisasi tersebut atau programnya tidak optimal untuk dikembangkan.