REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa penuntut umum (JPU) menilai, eksepsi Habib Rizieq Shihab (HRS) yang mengaku tidak mendapatkan informasi baik secara lisan maupun tulisan perihal adanya kewajiban isolasi mandiri 14 hari setelah kembali dari Arab Saudi tidak dapat diterima. Jaksa menegaskan, sebagaimana ketentuan perundang-undangan yang telah diberlakukan, setiap orang tanpa terkecuali dianggap mengetahui semua hukum atau undang-undang yang berlaku.
“Dan apabila melanggarnya akan dituntut dan dihukum berdasarkan undang-undang atau hukum yang berlaku tersebut,” kata JPU Teguh Suhendro, saat membacakan pernyataan menanggapi eksepsi Rizieq seperti yang disiarkan secara daring melalui YouTube PN Jakarta Timur, Selasa (30/3).
“Hal ini didasarkan pada teori fiksi yang menyatakan, begitu suatu norma hukum ditetapkan maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu hukum atau undang-undang,” tambah Jaksa.
Menurut Jaksa, ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat dijadikan alasan pemaaf atau membebaskan orang itu dari tuntutan hukum. "Seseorang tidak bisa mengelak dari jeratan hukum dengan berdalih belum atau tidak mengetahui adanya hukum dan peraturan perundang-undangan tertentu,” tegas Jaksa.
Terlebih, dalam hal ini HRS datang dari Arab Saudi yang juga menerapkan protokol kesehatan ketat terkait Covid-19. Sementara, HRS sejak tiba di Indonesia tidak tampak satupun upaya mengimbau masyarakat yang hadir untuk mematuhi dan menaati protokol kesehatan atau tidak melakukan kerumunan.
Diketahui, HRS terjerat tiga kasus sekaligus. Dalam kasus kerumunan massa di Petamburan, Jakarta Pusat, HRS ditetapkan sebagai tersangka pada 14 November 2020 lalu. HRS diduga melanggar Pasal 160 KUHP. Kemudian pada bulan Desember 2020, HRS juga ditetap sebagai tersangka kerumunan massa di Megamendung, Kabupaten Bogor.
Dari kedua kasus tersebut, HRS dijerat dengan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Pasal 216 KUHP.
Selanjutnya kasus terakhir, kasus di RS Ummi Bogor berawal saat HRS dirawat di RS Ummi dan melakukan tes usap pada 27 November 2020. Namun HRS melakukan tes usap bukan dengan pihak rumah sakit, melainkan lembaga Mer-C.
Tim kuasa hukum HRS, Aziz Yanuar menilai, pendapat Jaksa atas eksepsi kliennya hanyalah kekecewan serta luapan tangkisan eksepsi HRS. "Tadi kami mau sampaikan, cuma menurut KUHAP kan sudah tidak bisa, nanti saja di pleidoi, " ujar Aziz usai persidangan di PN Jakarta Timur, Selasa (30/3)