REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Antara
Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP), Suharjito, mengaku sedih disebut sebagai penyuap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. Ia menegaskan hanya seorang pengusaha biasa.
"Saya tuh sebenarnya dibilang penyuap itu sedih aku, aku ini orang usaha biasa," ujar Suharjito, di hadapan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, yang diikutinya secara virtual dari Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (24/3).
Menurut Suharjito, dia memiliki tanggungan yang banyak dengan membawahi 1.000 karyawan. Terlebih kondisi pandemi Covid-19 yang semakin memperburuk keadaan perusahaannya.
"Saya harus bayar pajak, bayar karyawan dengan kondisi Covid-19 seperti ini. Sedih saya. Bukan apa-apa, kalau aku nggak diminta komitmen fee nggak mungkin aku begini," kata Suharjito.
Suharjito didakwa memberikan suap kepada Edhy sebesar 103 ribu dolar AS dan Rp 706 juta. Dalam dakwaan disebutkan, Suharjito menyuap Edhy Prabowo melalui Safri dan Andreau Misanta Pribadi selaku staf khusus Edhy, Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadi Edhy, Ainul Faqih selaku staf pribadi Iis Rosita Dewi yang merupakan anggota DPR sekaligus istri Edhy, dan Siswandi Pranoto Loe selaku Komisaris PT. Perishable Logistics Indonesia (PT. PLI) sekaligus Pendiri PT. Aero Citra Kargo (PT. ACK). Suap diberikan Suharjito guna mempercepat persetujuan perizinan ekspor benih lobster atau benur di KKP tahun anggaran 2020.
Disebutkan dalam dakwaan, uang suap digunakan oleh Edhy dan istrinya untuk kepentingan pribadi. Suharjito pun didakwa dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Karena itu, Suharjito mengajukan permohonan sebagai saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator). "Pada persidangan sebelumnya, saudara mengajukan surat tertulis tentang pengajuan justice collaborator sehingga itu masih kami cermati kami pelajari tentang urgensi atau relevansinya," kata ketua majelis hakim Albertus Usada.
Suharjito mengikuti persidangan melalui sambungan video conference dari gedung KPK. "Memang banyak perusahaan, 65 perusahaan bisa saja punya potensi (memberi suap) seperti saudara. Persoalannya kenapa satu? Akan tetapi, bukan kewenangan majelis menjawab, hal itu ada pada penyidik," kata hakim Albertus.
Ia melanjutkan, "Nah, persoalannya, ini dari sekian yang diberi izin ekspor BBL maupun izin budi daya ada sekian perseroan atau perusahaan, tetapi yang dihadirkan di persidangan hanya satu, itu 'kan juga menjadi pertanyaan dan catatan majelis dalam hubungannya dengan permohonan Saudara."
Albertus menyatakan majelis masih belum membuat keputusan soal pemberian status justice collaborator pada sidang pembacaan vonis."Apakah kemudian urgensi dan relevansi pengajuan justice collaborator itu akan sedang kami pelajari dan nanti sebelum penyusunan surat tuntutan, kami akan menyatakan sikap atas permohonan Saudara. Jadi, masih ada waktu," ungkap hakim Albertus.
Menurut penasihat hukum Suharjito, Aldwin Rahadian, permohonan sebagai justice collaborator telah disampaikan sejak awal penyidikan. "Bukan apa-apa karena ini itikad baik dan kooperatif saja, apa pun akan siap terdakwa jawab dengan sejujur-jujurnya termasuk di BAP terdakwa bisa ditanyakan tentang hal-hal yang Saudara terdakwa ketahui juga," kata Aldwin.
Menurut Aldwin, Suharjito juga tidak punya beban karena terlah mengakui perbuatannya. "Dia memang mengakui perbutannya, ya, terlepas perbuatannya itu memenuhi unsur pidana atau tidak biar kemudian majelis hakim yang menilai karena Pak Harjito sendiri mengatakan dia memberikan uang karena diminta," ungkap Aldwin.
Aldwin menyebut kliennya hanya sebagai korban saat ingin mengurus izin ekspor dan budi daya benih lobster. "Karena kan persyaratannya lengkap, jadi tidak ada yang dilanggar sebetulnya, mau suap diakukan atau tidak izin pasti keluar. Pak Harjito justru merasa sebagai korban dan mempertanyakan kenapa hanya dia sendiri?" kata Aldwin.
Ia menggatakan, "Coba kalau lihat sitaan KPK lebih puluhan miliar rupiah dia 'kan hanya mengakui memberikan dua kali, yaitu 77.000 dolar AS dan 26.000 dolar AS, nah, yang disita puluhan miliar rupiah milik siapa?"
Pada tanggal 15 Maret 2021, petugas KPK menyita uang sekitar Rp 52,3 miliar yang diduga berasal dari para pengekspor BBL yang mendapatkan izin dari KKP pada tahun 2020. Edhy Prabowo diduga memerintahkan Sekjen KKP agar membuat surat perintah tertulis terkait dengan penarikan jaminan bank (bank garansi) dari para pengeksor kepada Kepala Badan Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu (BKIPM) KKP. Selanjutnya, Kepala BKIPM KKP memerintahkan Kepala Kantor Balai Karantina Besar Jakarta I Soekarno-Hatta untuk menerima bank garansi tersebut.KPK menyebut aturan penyerahan jaminan bank dari para eksportir sebagai bentuk komitmen dari pelaksanaan ekspor benur tersebut diduga tidak pernah ada.