Rabu 24 Mar 2021 18:48 WIB

Valina: Amandemen Buat Konstitusi Indonesia Lebih Hidup

Amandemen konstitusi tidak bisa dipisahkan dengan gerakan reformasi.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Indira Rezkisari
Guru Besar FISIP Universitas Indonesia, Prof Valina Singka mengatakan amandemen konstitusi tidak bisa dipisahkan dalam terbentuknya politik demokratis.
Foto: Yogi Ardhi/Republika
Guru Besar FISIP Universitas Indonesia, Prof Valina Singka mengatakan amandemen konstitusi tidak bisa dipisahkan dalam terbentuknya politik demokratis.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Guru Besar FISIP Universitas Indonesia, Prof Valina Singka, mengatakan, setelah adanya amandemen, konstitusi di Indonesia memang menjadi lebih hidup. Hal itu, mengingat cara bernegara dan berbangsa yang memang dinamis.

‘’Setelah konstitusi diamandemen, konstitusi kita itu menjadi lebih hidup,’’ ujar dia dalam webinar Membedah Wacana Atas Amandemen UUD 1945 yang diadakan Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (24/3).

Baca Juga

Dia menambahkan, berdasarkan amandemen keempat sudah jelas dan terperinci jika pasal 37 UUD 1945 menyebut bahwa pengajuan perubahan pasal-pasal baru bisa diajukan. Tujuannya, jelas untuk melindungi konstitusi dan menyesuaikannya dengan perkembangan.

Valina menjelaskan, amandemen tidak bisa dipisahkan dengan gerakan reformasi yang memang salah satu tujuannya adalah melakukan amandemen. Sehingga, MPR/DPR bisa diperkuat dan juga membatasi masa kekuasaan presiden.

Amandemen konstitusi, kata dia, juga tidak bisa dipisahkan dalam terbentuknya politik demokratis. Sehingga, dalam transisi proses demokrasi, pasti selalu ada kaitan reformasi konstitusi dan demokratisasi. ‘’Hasil dari amandemen itu, telah mengubah secara mendasar sistem kita,’’ kata Valina.

Dia mencontohkan, dalam sistem presidensial yang kini dianut pascareformasi, telah menghasilkan kepemimpinan presiden dengan legitimasi kuat. Hal itu dijelaskannya karena Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung. Sehingga, secara tidak langsung, menghasilkan ketentuan yang tidak akan mudah menjatuhkan atau melengserkan presiden di tengah jalan.

‘’Bisa dilihat, presidensial murni kan Amerika, hingga kini mereka ga ada yang impeachment. Meski di tahun 1974, saat ada tragedi Watergate, Richard Nixon mengundurkan diri, tapi tidak ada impeach,’’ ungkap dia.

Hal itu, berbeda jika menilik Indonesia di masa-masa awal reformasi dan amandemen yang belum sempurna. Menurut dia, saat Gus Dur menjabat Presiden, bisa dijatuhkan oleh MPR dengan sifat politis.

‘’Oleh karena itu, presidensial itu efektif bila didukung sistem sederhana yang tidak multi partai. Makanya UU pemilu perlu direvisi dengan tujuan akhir untuk mempertegas sistem pemilu yang konstitusional,’’ ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement