REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Boy Rafli Amar mengatakan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme sudah melalui proses harmonisasi baik oleh pemerintah dan DPR. Ia berharap dalam pelaksanaanya, pelibatan TNI dalam Perpres tersebut tidak tumpang tindih.
"Kami melihat mudah-mudahan dengan aturan yang ada ini tidak akan tumpang tindih," kata Boy dalam rapat kerja dengan Komisi III, Senin (22/3).
Menurut Boy, perpres telah mengatur spektrum ancaman kapan TNI dilibatkan. Boy mengungkapkan, TNI bisa dilibatkan dalam menghadapi situasi kejahatan terorisme berintensitas tinggi.
"Atau, katakanlah memerlukan pelibatan TNI secara nyata," ungkapnya.
Boy menambahkan, dalam perpres tersebut juga diatur bagaimana pelibatan TNI dalam penindakan terorisme tersebut harus melalui persetujuan secara politik baik dari presiden dan DPR. Namun dalam konteks pencegahan, TNI dapat secara langsung terlibat.
"Misalkan dalam sisi kegiatan-kegiatan pembinaan kepada masyarakat, dalam lingkup tugas teritorial, dalam kegiatan intelijen karena TNI memiliki perangkat intelijen dalam deteksi dini," ucapnya.
"Jadi TNI akan berjalan secara rutin sebagai bahan masukan tentunya secara berjenjang kepada pimpinan, potensi-potensi ancaman apa saja. Namun demikian di dalam konteks yang sifatnya penindakan maka tentu harus ada persetujuan dari bapak presiden," kata Boy.
Sebelumnya Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Golkar Supriansa menyoroti soal perpres pelibatan TNI dalam penanganan terorisme. Berdasarkan perpres tersebut, ia melihat bahwa pengerahan anggota TNI dalam penindakan terorisme hanya berdasarkan perintah presiden.
Ia membandingkan dengan bunyi pasal 7 ayat 2 dan 3 UU TNI yang mengatakan bahwa pengerahan TNI dalam mengatasi terorisme harus berdasarkan keputusan politk negara. Artinya, harus tetap ada pelibatan DPR dalam pengerahan TNI tersebut.
Anggota Komisi III DPR Partai Nasdem Ary Egahni Ben Bahat mengatakna, pelibatan anggota TNI dalam penanganan terorisme sah saja dilakukan. Namun, ia melihat kemungkinan adanya tumpang tindih dalam berbagai hal, seperti tupoksi, anggaran, dan lain-lain.
Anggota Komisi III DPR Ichsan Soelistio mengkhawatirkan adanya tumpang tindih di dalam kerja sama BNPT dengan mitra kelembagaan lain. Ia mencontohkan bagaimana kerja sama BNPT dengan PT KAI dalam pengamanan objek vital yang beririsan dengan kepolisian yang juga memiliki Direktorat Pengamanan Objek Vital.