Sabtu 20 Mar 2021 09:23 WIB

 Menilik Standar Halal MUI dalam Menilai Vaksin Covid-19

Penentuan kehalalan vaksin lebih kompleks ketimbang produk pangan.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Agus Yulianto
Direktur LPPOM MUI, Dr. Ir. Lukmanul Hakim.
Foto: Republika/Fuji Eka Permana
Direktur LPPOM MUI, Dr. Ir. Lukmanul Hakim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Topik mengenai status kehalalan vaksin Covid-19 kembali ramai diperbincangkan khalayak. Apalagi, setelah Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyebutkan bahwa vaksin Covid-19 produksi Astrazeneca dari Inggris ternyata mengandung unsur babi. Kendati secara hukum terbilang haram, tapi MUI tetap membolehkan penggunaan vaksin Astrazeneca karena kondisi darurat penanganan pandemi.

Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI Lukmanul Hakim mengungkapkan, MUI punya standar dalam penentuan halal-haram sebuah produk, tentu berdasarkan ketentuan dalam Islam. 

"Ini kaidah-kaidah di dalam masalah halal haram, selain juga memang ada bahan-bahan yang lain yang memang selain daripada babi atau organ manusia yang memang tidak diperkenankan atau tidak boleh. Nah tentu waktu kami melakukan audit, standar ini yang menjadi pegangan," kata Lukmanul dalam keterangannya di kanal media sosial Sekretariat Presiden, Jumat (19/3). 

Secara rinci, ada empat standar halal MUI untuk produk pangan, obat, dan kosmetik. Pertama, tidak memanfaatkan (intifa') babi atau bahan yang tercemar babi dan turunannya. Kedua, tidak memanfaatkan bagian anggota tubuh manusia (juz/ minal insan). Ketiga, tidak bersentuhan dengan barang najis mutawassithah. Keempat, menggunakan fasilitas produksi yang suci. 

 

photo
Vaksin AstraZeneca Covid-19. - (Jung Yeon-je / Pool via AP)

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement