REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kantor Staf Kepresidenan mendukung upaya advokasi untuk perubahan atau revisi Qanun Nomor 9 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Aceh. Dukungan revisi tersebut khususnya pada Pasal 47 dan Pasal 50 mengenai definisi dan sanksi.
"Sejauh ini, DPRA sudah membentuk tim revisi, di mana Kontras Aceh dan LBH Banda Aceh masuk sebagai anggota Tim, diharapkan perubahan ini akan melindungi perempuan dari perkosaan maupun kekerasan seksual lainnya di Aceh," ujar Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardani dalam keterangannya diterima di Jakarta, Selasa (16/3).
KPS menyambut baik pembahasan yang diinisiasi oleh Komnas Perempuan. Pembahasan ini sebagai upaya untuk penguatan perlindungan hukum bagi perempuan dan anak dari pelecehan seksual dan perkosaan di Aceh.
Menurut dia, perlindungan warga negara merupakan amanat Konstitusi yang menjadi program prioritas presiden untuk menghadirkan negara dalam menjamin keamanan seluruh warga negara dari segala bentuk gangguan keamanan (security). Termasuk, yang bersifat keamanan kedaulatan negara maupun keamanan yang bersifat individu maupun kelompok, baik pada ranah publik, sosial maupun privat.
Bentuk perlindungan yang masih terus ditingkatkan adalah rasa aman dari tindak kekerasan perempuan yang masih sangat tinggi, terutama terkait dengan gender-based violence seperti perkosaan dan pelecehan seksual. Kendala terbesar penanganan kekerasan ini adalah masih kuatnya bias kultural bahwa perempuan secara natural adalah makhluk penggoda seksual.
Setiap terjadi kasus tindak kekerasan seksual perempuan dianggap memiliki andil karena berpakaian salah, bertingkah laku salah serta berada di tempat yang salah sehingga "pantas" jika ia mendapat perlakuan yang melecehkan atau, bahkan, pemerkosaan. Lebih memprihatinkan, perempuan korban kekerasan seksual seringkali mendapatkan hukuman psikologis dalam proses penyelidikan dan penyidikan karena bias tersebut dan masih kurang sensitif-nya aparat penegak hukum terhadap gender-based violence yang mengandung ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan.
KSP mendengarkan masukan dan aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan, dari DPRA, pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil aceh (Kontras Aceh, LBH Banda Aceh, Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Aceh, Yayasan Pulih Aceh dan berbagai organisasi perempuan Aceh) yang menyampaikan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat pesat di Aceh selama beberapa tahun terakhir.
"Salah satu alasannya adalah karena aturan dalam Qanun Jinayah yang menghukum pelaku dengan sangat rendah, sehingga sama sekali tidak ada efek jera pada pelaku," tuturnya.