REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menteri Kordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menilai polemik tiga periode jabatan presiden dan wakil presiden sebetulnya wacana dan diskusi massa yang menarik. Akan tetapi, kata Mahfud, agar jangan asal menuduh polemik tersebut sebagai dorongan dari pemerintah untuk mengusulkan perubahan Pasal 7 UUD 1945.
Mahfud meyakinkan, tak ada wacana, dan diskusi apapun di jajaaran kabinet, maupun di pemerintahan, untuk mengubah batas dua periode jabatan kepresiden. “Asyik saja baca-baca (wacana) begitu. Tidak apa-apa. Tetapi, kalau pemerintah, tidak punya wacana tentang mau tiga kali, empat kali, lima kali,” kata Mahfud, saat berkunjung ke Kejaksaan Agung (kejakgung), Jakarta, Senin (15/3).
Mahfud memastikan, bagi pemerintahan saat ini, masa jabatan presiden dan wakil presiden, tetap mengacu pada UUD 1945 yang berlaku. “Kita Undang-Undang Dasar (UUD) yang berlaku sekarang saja,” ujar Mahfud.
Ia mengatakan, sebetulnya pemerintah tak punya otoritas dalam mewacanakan, ataupun mengusulkan perpanjangan periode jabatan presiden, dan wakil presiden tersebut. Itu sebabnya, kata dia, polemik dan diskusi tentang penambahan periode presiden dan wakil presiden jangan sampai membawa pemerintah sebagai pihak pengusul.
“Jadi jangan diseret-seret ke kabinet lah. Urusan itu diskusinya MPR (Majelis Permusyawarahan Rakyat), dan parpol-parpol (partai politik). Dan itu memang haknya. Kalau pemerintah, tidak punya wacana itu,” terang Mahfud.
Wacana amandemen UUD 1945 terkait dengan penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga kali mencuat dalam sepakan ini. Belakangan, politikus senior Amien Rais, bahkan menuding adanya upaya pemerintah bersama koalisinya di parlemen untuk membuka peluang mengubah Pasal 7 UUD 1945. Keterangan pasal tersebut membatasi masa presiden hanya dua periode. Perubahan yang dimaksud adalah menjadi tiga periode.