Senin 08 Mar 2021 07:13 WIB

Bagaimana Sejarah Mencatat Dualisme Kepemimpinan Partai?

Dualisme tersebut berujung pada konflik dan kerusuhan yang dikenal dengan 'Kudatuli'.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Agus Yulianto
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno di kantor Parameter Politik Indonesia, Jakarta Selatan.
Foto: Republika/Mimi Kartika
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno di kantor Parameter Politik Indonesia, Jakarta Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hampir 25 tahun yang lalu, dualisme pertama dalam perpolitikan Indonesia mulai terjadi. Bahkan, dualisme tersebut berujung pada konflik dan kerusuhan yang dikenal dengan sebutan Kudatuli (kerusuhan 27 Juli).

Saat itu, ada upaya pengambilalihan kantor DPP PDIP di Jakarta oleh Soerjadi. Megawati, merupakan ketua umum sah PDIP untuk saat itu, melalui hasil kongres di periode 1993-1998.

Pada masa itu, ada belasan kader di tubuh PDIP yang mencoba memisahkan diri dari PDIP. Beberapa waktu berselang, layaknya Partai Demokrat kini, PDIP saat itu langsung memecat 16 kader fungsionaris tersebut.

"Itu menjadi sejarah dualisme partai pertama di Indonesia," ujar pengamat politik Adi Prayitno kepada Republika, Ahad (7/3).

Tak sampai di sana, upaya memisahkan diri melalui kongres yang direncanakan 16 orang mantan kader di Medan, tetap dilaksanakan. Meski mereka telah dipecat. Menurut Adi, ada indikasi yang tampak dari pemerintahan Soeharto dalam mendukung kongres tersebut. Namun demikian, menurut Adi, tetap saja Megawati yang akhirnya menang.

Lalu, bagaimana dengan sejarah dualisme kepemimpinan di partai-partai lain di Indonesia?

 

photo
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menghadiri pentas seni budaya peringatan peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli), di Telaga Jonge, Desa Pacarejo, Kecamatan, Semanu, Kabupaten Gunung Kidul. - (Istimewa)

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement