Kuasa Hukum Djoko Tjandra, Soesilo Ariwibowo menilai penuntut umum keliru memberikan tuntutan 4 tahun penjara terhadap kliennya. Menurutnya, penuntut umum hanya menyalin dakwaan milik Pinangki Sirna Malasari.
"Ya, salah lihat tuntutan itu, JPU copy paste dengan dakwaan dan kasus Pinangki. Mereka keliru meletakkan posisi Djoko Tjandra sebagai pelaku utama, dia sebenarnya kan korban, " kata Soesilo kepada Republika, Kamis (4/3).
Soesilo menegaskan, pihaknya akan menolak semua argumentasi penuntut umum di dalam nota pembelaan atau pleidoi yang akan disampaikan pekan depan. "Prinsipnya akan menolak semua argumentasi jaksa penuntut umum, " tegasnya.
Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai, tuntutan 4 tahun penjara terhadap Djoko Tjandra menunjukkan kurang seriusnya Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam perkara pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) serta penghapusan nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO).
"Kejaksaan tampak kurang serius dalam kasus ini," kata Zaenur kepada Republika, Kamis (4/3).
Padahal, menurut Zaenur, perkara ini sangat merusak wibawa dan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum serta sistem hukum yang terbukti carut marut. Pukat UGM memandang Djoko Tjandra seharusnya dituntut maksimal sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Pemberantasan Tipikor, yakni hukuman maksimal 5 tahun penjara.
"Dalam dalam kasus Djoko Tjandra ini, Djoko Tjandra dituntut 4 tahun, padahal menurut saya seharusnya Kejaksaan menuntut maksimal sesuai yang diatur dalam pasal 5 ayat 1 UU Tipikor yakni hukuman maksimal lima tahun penjara," ujarnya.
"Kenapa maksimal karena daya rusak perbuatan pelaku ini sangat besar terhadap institusi hukum juga terhadap sistem hukum," tegas Zaenur.
"Dengan tuntutan baik terhadap Pinangki 4 tahun dan sekarang Djoko Tjandra juga 4 tahun. Menurut saya itu seakan-akan menunjukan kurang seriusnya Kejaksaan dalam menyelesaikan kasus ini," tambahnya.