Selasa 02 Mar 2021 10:51 WIB

Radikalisme Lagi ITB: Dari Sukarno Hingga Din Syamsuddin

Radikalisme ITB

Pintu masuk utama ITB tempo dulu. Berada di Hoogeschoolweg (sekarang Jalan Genesha) dan di seberang taman yang disebut IJzermanpark (sekarang Taman Ganesha)
Foto:

Itu memang bukan permainan bermutu. Tapi di tengah riuh politik saat ini, rasanya tak seru kalau tak ikut serta. Hal itu dapat diibaratkan dengan makanan gorengan. Kita tahu gorengan bukan makanan sehat. Toh sering kita menyantapnya. Ribut-ribut soal Prof Din Syamsudin beberapa waktu lalu adalah semacam itu.

Seru memang bermain-main begitu, tapi tak akan membuat Indonesia maju. Bahkan dapat   memperlemah trust antarkita. Yang sekarang pun sudah lemah. Padahal trust itulah modal sosial utama buat maju. Sudah sangat lama Francis Fukuyama mengingatkan itu.

Kini, syukurlah, main tuding-menuding itu sudah berlalu. Ibarat makan gorengan, makannya sudah selesai. Saatnya beralih ke makanan yang memang sehat. Saatnya kita memfokuskan perhatian bersama pada persoalan mendasar bangsa. Yakni bagaimana membantu bangsa ini untuk dapat sungguh maju.

Para tetangga kita telah berlomba untuk maju. Ada ‘China Incorporated’, ‘Japan Incorporated’, hingga ‘Singapore Incorporated’. Saatnya kita juga maju. Yakni dengan bekerja bersama secara radikal mewujudkan Indonesia maju. ‘Indonesia Incorporated’. “Putra-putri terbaik bangsa” dari ITB tentu dapat berperan di depan untuk membuat langkah radikal itu.*  semata. Banyak teknokrat di balik Xi yang ikut mengantarkan China menjadi seperti sekarang.

Kita bukan tak punya teknokrat-teknokrat seperti China. Kita punya banyak teknokrat hebat. ITB tentu salah satu gudangnya. Betapa luar biasa saat para teknokrat hebat kita itu berkumpul. Lalu Bersama-sama membuat karya-karya radikal. Itulah yang akan memajukan Indonesia.

Kesempatan ke sana terbuka lebar. Masih sangat banyak hal yang belum tergarap dengan baik di Indonesia. Dalam istilah Aa Gym, “ladang amal yang dapat dicangkul masih sangat luas.” Mengapa ladang-ladang amal itu tak kita garap?

Masalah lingkungan, misalnya. Hingga beberapa tahun lalu, kebakaran hutan besar-besaran masih sangat menyengsarakan. Kemudian sekarang banjir. Berbagai daerah di tahun ini direndam banjit besar-besaran. Seperti Kawasan Kemang Jakarta, pusat kota Semarang, dan banyak daerah. Kalimantan Selatan mencacat berskala terbesar sepanjang sejarah.

Hal lainnya adalah industri. Tak ada negara maju tanpa industri kuat. Korea Selatan mampu menyulap diri dari negara miskin menjadi negara maju dengan industri.  Kita? Hingga 75 tahun merdeka belum punya pondasi industri yang kokoh. Siapa yang paling kompeten membangunnya kalau bukan ‘anak-anak ITB’?

Manajemen lingkungan dan pengembangan pondasi industri hanya sebagian ladang amal yang perlu sentuhan tangan keradikalan anak-anak ITB. Masih banyak lainnya tentu. Termasuk bidang sosial politik, hingga ekonomi sekalipun. Itu sudah dibuktikan di beberapa kesempatan.

Oleh Teuku Sany misalnya. Profesor ini pernah menjadi peneliti terbaik Indonesia. Suatu waktu ia membuat permodelan tentang peradaban. Mengukur seberapa mudah daerah-daerah di Indonesia untuk berintegrasi dengan peradaban global. “Wah,” celetuk saya saat itu. Model ini dapat jadi peta jalan yang jelas bagi setiap daerah buat maju.

Yang lebih radikal lagi dibuat anak ITB yang hijrah ke Jerman. BJ Habibie. Saat menjadi presiden, dan harus memecahkan masalah ekonomi. Krisis moneter 1998 yang dibuat George Soros dengan para kroni Indonesianya telah menumbangkan rupiah. Dari sekitar Rp 2.400 menjadi Ro 16.000 per dolar.

Habibie membuat permodelan buat mengatasinya. Juga meminta anak ITB seperti Jusman buat membantunya. Model itu yang digunakan buat mengatasi krisis. Hasilnya, rupiah dapat dikatrol jadi sekitar Rp 7.500 dalam waktu singkat. Jadi salah satu terobosan ekonomi paling signifikan dalam sejarah Indonesia, walaupun Habibie bukan ekonom.

Bukti itu membuat saya yakin. ITB, dengan keradikalan anak-anaknya, dapat membantu kita memecahkan berbagai masalah besar bangsa. Terutama di saat-saat seperti sekarang. Saat kita telah melangkah ke usia seabad sebagai bangsa. Sedangkan kita belum kunjung jadi bangsa maju. 

Langkah-langkah radikal diperlukan di saat seperti ini. Langkah yang dapat membantu bangsa ini maju. Tapi, nyatanya, kita tak selalu melangkah ke situ. Kadang kita malah asyik dengan permainan bangsa terbelakang. Seperti main tuding-tudingan, main stempel-stempelan. 

Itu memang bukan permainan bermutu. Tapi di tengah riuh politik saat ini, rasanya tak seru kalau tak ikut serta. Hal itu dapat diibaratkan dengan makanan gorengan. Kita tahu gorengan bukan makanan sehat. Toh sering kita menyantapnya. Ribut-ribut soal Prof Din Syamsudin beberapa waktu lalu adalah semacam itu.

Seru memang bermain-main begitu, tapi tak akan membuat Indonesia maju. Bahkan dapat   memperlemah trust antarkita. Yang sekarang pun sudah lemah. Padahal trust itulah modal sosial utama buat maju. Sudah sangat lama Francis Fukuyama mengingatkan itu.

Kini, syukurlah, main tuding-menuding itu sudah berlalu. Ibarat makan gorengan, makannya sudah selesai. Saatnya beralih ke makanan yang memang sehat. Saatnya kita memfokuskan perhatian bersama pada persoalan mendasar bangsa. Yakni bagaimana membantu bangsa ini untuk dapat sungguh maju.

Para tetangga kita telah berlomba untuk maju. Ada ‘China Incorporated’, ‘Japan Incorporated’, hingga ‘Singapore Incorporated’. Saatnya kita juga maju. Yakni dengan bekerja bersama secara radikal mewujudkan Indonesia maju. ‘Indonesia Incorporated’. “Putra-putri terbaik bangsa” dari ITB tentu dapat berperan di depan untuk membuat langkah radikal itu.*  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement