Kamis 25 Feb 2021 13:42 WIB

Penggeledahan Rumah Ihsan Yunus yang Dinilai Terlambat

MAKI menguggat KPK yang tak segera tindak lanjuti 20 izin penggeledahan kasus bansos.

Penyidik KPK membawa koper usai menggeledah kediaman politisi PDI Perjuangan Ihsan Yunus di Pulogadung, Jakarta Timur, Rabu (24/2/2021). Penggeledahan tersebut merupakan penyidikan kasus dugaan korupsi bantuan sosial (bansos) COVID-19.
Foto:

Diketahui, nama Ihsan juga sempat muncul saat rekonstruksi kasus suap bansos yang dilakukan di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta pada Senin (1/2). Saat itu, perantara Ihsan Yunus bernama Agustri Yogasmara alias Yogas diketahui menerima uang Rp1,532 miliar dan dua sepeda merek Brompton dari terdakwa penyuap Juliari, Harry Van Sidabukke.

Namun, dalam sidang perdana Harry Van Sidabukke dan Ardian Iskandar di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (24/2), nama Ihsan Yunus tidak ada dalam dakwaan. Indonesia Corruption Watch (ICW) pun mempertanyakan hal ini.

" Setelah mengamati dakwaan yang dibacakan oleh jaksa penuntut umum KPK dalam perkara dugaan suap pengadaan paket bantuan sosial sembako di Kementerian Sosial, ICW mempertanyakan hilangnya nama Ihsan Yunus. Hal ini janggal, sebab, dalam rekonstruksi yang dilakukan oleh KPK, nama tersebut sudah muncul," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana kepada Republika, Kamis (25/2).

Bahkan, dalam salah satu bagian rekonstruksi yang lalu dijelaskan Harry Van Sidabukke menyerahkan uang dengan total Rp 6,7 miliar dan dua sepeda merek Brompton kepada Agustri Yogasmara yang merupakan operator dari Ihsan Yunus. Selain itu, penuntut umum juga tidak menjelaskan perihal siapa Agustri Yogasmara yang ada dalam surat dakwaan.

"Padahal, masih dalam konteks yang sama, rekonstruksi KPK secara gamblang menyebutkan bahwa Agustri Yogasmara adalah operator dari Ihsan Yunus," ujar Kurnia.

Dakwaan yang baru saja dibacakan tersebut, lanjut Kurnia, sudah barang tentu menyasar pada tindak pidana yang dilakukan oleh Harry Van Sidabukke. Ia pun mempertanyakan apakah memberikan uang miliaran dan sejumlah barang kepada yang diduga sebagai perantara seorang penyelenggara negara tidak dianggap sebagai perbuatan pidana.

"Penting pula ditegaskan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP disebutkan bahwa surat dakwaan mesti ditulis secara cermat, jelas, dan lengkap," tegasnya.

Untuk itu, sambungnya, ICW mengingatkan kembali kepada jajaran Pimpinan, Deputi, maupun Direktur di KPK agar tidak melakukan tindakan melanggar hukum. "Misalnya melindungi atau menghalang-halangi kerja penyidik untuk membongkar tuntas perkara ini," ucap Kurnia.

ICW juga meminta agar Dewan Pengawas mencermati proses alih perkara dari penyidikan ke penuntutan serta pembuatan surat dakwaan untuk terdakwa Harry Van Sidabukke. Pemerintah pun perlu serius dalam mengawasi penanganan perkara ini, karena pada dasarnya berkaitan langsung dengan hajat hidup masyarakat korban pandemi Covid-19 yang telah dirusak serta diciderai oleh beberapa oknum pelaku korupsi.

"Maka dari itu, harapan publik tersebut mesti dijawab oleh KPK dengan tidak melakukan tebang pilih dalam menangani perkara ini," tegas Kurnia.

Hingga kini, KPK belum bisa memeriksa Ihsan Yunus karena yang bersangkutan tidak memenuhi panggilan. Pemanggilan pun pada hari ini kembali dilayangkan kepada Ihsan Yunus, sekaligus terhadap dua politikus PDIP lainnya.

"Dia (Ihsan) diperiksa sebagai saksi untuk tersangka MJS (Matheus Joko Santoso) terkait suap pengadaan bansos untuk Jabodetabek tahun 2020," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri di Jakarta, Kamis (25/2).

Selain Ihsan Yunus, KPK juga memanggil Ketua DPC PDIP Kabupaten Semarang Ngesti Nugraha dan Ketua Komisi DPRD Kabupaten Kendal Munawir. Ketiga saksi ini merupakan politisi PDIP serupa dengan Ihsan Yunus.

Dalam perkara kasus dugaan korupsi bansos Covid-19, KPK total telah menetapkan lima tersangka, yaitu sebagai penerima suap masing-masing Juliari Batubara serta dua Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kemensos Matheus Joko Santoso (MJS) dan Adi Wahyono (AW). Sementara pemberi suap adalah Harry Van Sidabukke dan Ardian Iskandar Maddanatja yang saat ini sudah berstatus terdakwa.

Harry Van Sidabukke yang berprofesi sebagai konsultan hukum didakwa menyuap Juliari Batubara, Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso sebesar Rp1,28 miliar karena membantu penunjukan PT Pertani (Persero) dan PT Mandala Hamonangan Sude (MHS) sebagai penyedia bansos sembako COVID-19 sebanyak 1.519.256 paket.

Sedangkan, Direktur Utama PT Tigapilar Agro Utama Ardian Iskandar Maddanatja didakwa menyuap Juliari Batubara, Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso senilai Rp1,95 miliar karena menunjuk Ardian melalui PT Tigapilar Agro Utama sebagai penyedia bansos sembako tahap 9, 10, tahap komunitas dan tahap 12 sebanyak 115.000 paket.

Atas perbuatannya, Harry dan Ardian dikenakan Pasal 5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

photo
Korupsi Bansos Menjerat Mensos - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement