Senin 22 Feb 2021 19:00 WIB

'Jangankan Dihukum Mati, Lebih dari itu Saya Siap'

Menurut Edhy Prabowo, setiap kebijakan yang diambilnya adalah demi kepentingan rakyat

Tersangka kasus dugaan suap izin ekspor benih lobster Edhy Prabowo berjalan keluar seusai menjalani pemeriksaan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Senin (22/2/2021). KPK memperpanjang masa penahanan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu untuk 30 hari ke depan.
Foto:

Hukuman mati bagi koruptor masih bersifat pro dan kontra di Tanah Air. Wacana hukuman mati koruptor mengemuka kembali saat pejabat negara mengambil aksi menguntungkan diri sendiri di saat masyarakat terhantam ekonominya akibat pandemi.

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menegaskan agar memberlakukan hukuman mati kepada pelaku koruptor. Namun jika terasa sulit, ujar Koordinator MAKI, maka cara lain adalah perampasan aset dan penjara seumur hidup.

"Penjara seumur hidup, sepanjang dimiskinkan maka akan (menimbulkan) efek Jera," ujar Koordinator MAKI, Boyamin Saiman dalam ketarangan tertulis, Senin (22/2).

Menurutnya, cara efektif untuk menimbulkan rasa jera adalah dengan menerapkan hukuman seumur hidup dan perampasan aset. Dengan perampasan aset maka dia tidak memiliki kesempatan untuk jalan-jalan selama dalam masa tahanan.

Sayangnya ujar Boyamin, upaya memiskinkan koruptor ini nampaknya hanya sekedar wacana. Praktiknya, banyak koruptor dan keluarganya yang masih menikmati harta tersebut dengan dalih harta yang dimiliki tidak berkaitan dengan kasus yang terbongkar.

"(Memiskinkan koruptor) belum terlaksa maksimal karena baru sebatas hasil kejahatan yang diproses, sementara harta-harta lain hasil penyimpangan yang tidak diproses tidak disita. Alasan tidak terkait dengan perkara yang sedang diproses," jelas dia.

"Hampir (kasus korupsi) seperti itu semua karena kurang trengginasnya penegak hukum kita," tambah dia.

Boyamin meminta agar penegak hukum benar-benar tuntas dan menyeluruh dalam menangani kasus korupsi. Termasuk menyita semua aset hasil tindak pidana korupsi, dengan begitu upaya memiskinkan dan membuat jera koruptor akan terwujud. "Harus menyeluruh ketika tangani perkara korupsi, tuntas dan sita semua harta koruptor," tegasnya.

Di sisi lain, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengaku tidak sepakat dengan hukuman mati bagi pelaku korupsi. Mereka menilai kalau korupsi bukan termasuk dalam kategori pelanggaran pidana HAM berat.

"Korupsi, narkoba dan lain-lain itu tidak termasuk itu (pelanggaran HAM berat)," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam sebuah diskusi virtual terkait hukuman mati bagi koruptor, Ahad (21/2).

Dia menjelaskan, secara internasional hukuman mati hanya diberikan kepada pelaku genosida, kejahatan kemanusiaan, agresi dan kejahatan perang yang masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat. Korupsi, sambung dia, berada di bawah tingkat pelanggaran HAM berat.

"Hukuman mati itu hanya diizinkan untuk tindak pidana yang disebut the most serious crime sedangkan korupsi hanya masuk dalam kriteria serious crime bukan the most serious crime yang pelanggaran HAM berat seperti yang empat tadi," katanya.

Kendati, dia mengatakan bahwa hukuman mati untuk pelaku korupsi di tengah pandemi dibolehkan dalam aturan yang berlaku. Dia melanjutkan, Mahkamah Konstitusi (MK) juga tidak menilai hukuman mati melanggar Undang-Undang Dasar 1945.

Dia meminta wacana hukuman mati diperhatikan matang-matang. Dia menegaskan, eksekusi mati bagi para pelaku korupsi tidak boleh dilakukan hanya karena emosi belaka.

"Kita perlu diskusikan dalam konteks kemanfaatan, dan harus memikirkan sentimen. Karena sering kali ide-ide seperti ini dalam rangka menangkap sentimen masyarakat yang marah," katanya.Sementara KPK tidak bisa menyatakan opininya terkait hukuman mati koruptor. Kebijakan KPK kepada pelaku koruptor hanya menghukum pidana dan menyita asetnya.

"Hukuman mati khususnya dalam penegakan hukum Tindak Pidana Korupsi secara normatif dapat diterapkan  sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Namun, KPK sebagai bagian dari aparat penegak hukum tentu tidak dalam kapasitas berpendapat setuju atau tidak terkait penerapan hukuman mati," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri.

Kemudian, Ali melanjutkan dalam penghukuman pelaku korupsi, kebijakan KPK saat ini tidak hanya menghukum pidana badan berupa penjara sebagai efek jera. "Tapi juga memaksimalkan pemulihan hasil tindak pidana korupsi/ asset recovery melalui tuntutan denda, uang pengganti maupun perampasan aset lainnya," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement