REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, mendorong agar DPR segera membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT). Aturan yang ada saat ini dinilai belum cukup melindungi PRT secara menyeluruh.
"Perlu kejelasan dan pemahaman bersama untuk desak kawan-kawan di Senayan agar segera menindaklanjuti pembahasan RUU PRT ini dan mengesahkannya menjadi undang-undang," kata Lestari dalam keterangan tertulisnya, Rabu (17/2).
Menurut Lestari, semakin lama menunda pembahasan RUU PRT, maka berarti sama dengan mengabaikan hak-hak PRT secara mendasar menjadi tanggung jawab semua pihak. "Ini sudah menyangkut masalah kemanusiaan," ujar politikus Nasdem itu.
Dalam diskusi virtual yang sama, pakar Hukum Tata Negara Universitas Pasundan, Bandung, Atang Irawan, mengatakan, sejumlah pihak menganggap PRT sudah diatur dalam UU Tenaga Kerja. Tetapi, kata Atang, yang diatur dalam UU Tenaga Kerja adalah hubungan antara pengusaha dan pekerjanya. Sedangkan pemberi kerja bagi PRT, menurut Atang, tidak bisa disebut sebagai pengusaha.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, menurut Atang, secara hirarki hukum juga tidak jelas asal usulnya. Sebab, kata dia, tidak ada UU yang memerintahkan lahirnya peraturan menteri tersebut.
Atang menilai, UU Perlindungan PRT harus segera ditetapkan karena di dalamnya ada aspek-aspek fundamental yang merupakan kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya.
Wakil Ketua Baleg DPR RI, Willy Aditya, mengaku, pembahasan RUU PRT di Baleg DPR sudah selesai, tinggal diajukan ke sidang paripurna sebagai hak inisiatif DPR. Pada pekan kedua Maret 2021 dijadwalkan akan diadakan rapat kerja untuk membahas RUU PRT sebelum diajukan ke sidang Paripurna DPR.
Posisi ini, menurut Willy, masih rawan bagi keberlanjutan pembahasan RUU PRT. Padahal, salah satu tujuan RUU PRT ini adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat para PRT.