REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Adinda Pryanka
Pemerintah terus berupaya mengejar pertumbuhan ekonomi lewat berbagai cara. Relaksasi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan bermotor yang akan diberlakukan mulai awal bulan depan diharap bisa mengerek pertumbuhan ekonomi kuartal I.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, mengatakan kebijakan relaksasi PPnBM untuk kendaraan bermotor merupakan upaya pemerintah untuk mengejar pertumbuhan ekonomi kuartal I-2021. “Kita targetkan berlaku per 1 Maret karena kita mengejar pertumbuhan kuartal I dan mengejar momentum Ramadhan dan Lebaran,” katanya dalam Dialog Produktif bertajuk Daya Ungkit untuk Ekonomi Bangkit yang diselenggarakan KPC-PEN di Jakarta, Selasa (16/2).
Susi menyatakan hal itu terjadi karena relaksasi PPnBM kendaraan bermotor merupakan kebijakan awal untuk mendorong perekonomian dari sisi demand. Saat ini fokus pemerintah adalah menaikkan konsumsi rumah tangga.
Ia menuturkan kontribusi paling besar untuk perekonomian adalah konsumsi rumah tangga dan investasi yang pada kuartal IV tahun lalu telah mengalami perbaikan. Sehingga, harus terus didorong dengan insentif lainnya seperti relaksasi PPnBM kendaraan bermotor.
Ia menjelaskan relaksasi PPnBM untuk kendaraan bermotor akan menyasar dua hal yakni demand atau konsumsi rumah tangga dan dari sisi supply industri pengolahan. Oleh sebab itu, Susi berharap relaksasi PPnBM ini akan mampu menurunkan harga kendaraan bermotor sehingga meningkatkan pembelian yang berimbas juga pada peningkatan produksinya.
“Ini kita berikan untuk sisi demand sedangkan industri sudah kita beri insentif pajak sejak awal pandemi jadi industri sudah mendapatkan banyak insentif. Hanya demand yang perlu didorong,” ujarnya.
Di sisi lain, ia tak memungkiri bahwa melalui relaksasi PPnBM tersebut negara berpotensi kehilangan sekitar Rp 1,6 triliun sampai Rp 2 triliun namun akan terkompensasi dengan peningkatan demand serta produksi. “Dengan tumbuhnya itu (demand dan produksi) itu akan naik dibandingkan tahun lalu sehingga hitungannya akan lebih positif dibanding potential loss,” jelasnya.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, menilai, insentif PPnBM kurang efektif dalam mendorong konsumsi rumah tangga. Sebab, kelompok masyarakat menengah ke bawah yang menjadi sasaran utama insentif ini masih sulit untuk berbelanja akibat pandemi.
Piter mengatakan, insentif PPnBM terhadap kendaraan bermotor sebenarnya berpotensi mendorong tingkat permintaan yang lemah pada masa pandemi. Tapi, rencana yang ditetapkan pemerintah untuk menargetkan masyarakat menengah ke bawah terbilang tidak tepat.
Pandemi menyebabkan aktivitas perekonomian terhambat. Dampak paling besar dirasakan oleh kelompok menengah ke bawah, termasuk melalui Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) maupun kehilangan pendapatan berusaha.
Artinya, Piter mengatakan, sekalipun harga beberapa segmen kendaraan sudah turun, tidak serta mereta masyarakat target akan membelinya. "Mereka yang kehilangan pekerjaan dan income, tidak kemudian akan mendapatkan kembali daya belinya ketika PPnBM dihilangkan," katanya.
Diketahui, pemerintah berencana menurunkan PPnBM untuk kendaraan bermotor pada segmen kendaraan dengan cc kurang dari 1.500 untuk kategori sedan dan 4x2 secara bertahap per 1 Maret 2021. Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan industri otomotif dengan local purchase kendaraan bermotor di atas 70 persen.
Piter menyebutkan, insentif PPnBM akan lebih berdampak untuk mendorong konsumsi rumah tangga apabila menyasar pada kelompok menengah ke atas. Sebab, kontribusi mereka terhadap struktur konsumsi mencapai 80 persen. "Pengaruhnya akan sangat besar ke demand," ucapnya.
Apabila nantinya insentif PPnBM diperluas, Piter menekankan, pemerintah tetap harus memperhatikan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN), seperti halnya insentif yang akan berlaku bulan depan. Hal ini dilakukan agar industri lokal yang mendapatkan manfaatnya secara signifikan.
Selain itu, Piter menganjurkan, perlakuan insentif ke dua kelompok masyarakat ini dapat dibedakan. Misal, kendaraan di bawah 1.500 cc mendapatkan pembebasan 100 persen, sementara kendaraan yang lebih mewah diberikan potongan 50 persen. "Agar kelompok menengah ke bawah dan menengah ke atas sama-sama mendapatkan insentif untuk kemudian bisa menjadi pemicu akselerasi pertumbuhan kembali konsumsi, terutama otomotif," katanya.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengakui memang terjadi perubahan dalam proyeksi pertumbuhan ekonomi domestik di tahun ini. Namun laju kegiatan perekonomian pada 2021 ini tetap terjaga sesuai estimasi awal hingga ke level 5 persen, dibanding minus 2,07 persen pada 2020.
Di sela konferensi pers di Kantor Presiden, Selasa, Sri Mulyani mengatakan pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2021 akan sebesar 4,3-5,5 persen. Hal itu berbeda dengan asumsi pertumbuhan ekonomi di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 yang sebesar 4,5-5,5 persen.
“Sekarang rentangnya agak bergeser, tapi titik perkiraan kita ada di 5 persen,” ujar Sri Mulyani.
Dalam rapat pimpinan TNI-Polri, Senin (15/2) lalu, Sri Mulyani mengaku mengeluarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi RI pada 2021 sebesar 4,3-5,3 persen. "Jadi kita akan lihat di kuartal satu ini. Tapi range (rentang) ini menggambarkan kita masih optimis di sekitar 5 persen untuk 2021," ujarnya.
Di kuartal I 2021 ini, Sri Mulyani melihat pemulihan ekonomi masyarakat terus berjalan meskipun pemerintah menerapkan Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Pemerintah, ujarnya, akan terus menggulirkan kebijakan untuk menstimulus ekonomi demi mengakeselerasi pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19.
“Inilah yang kita upayakan di Februari dan Maret 2021 ini. Supaya kuartal I tetap bisa ada momentum pemulihan, baik kuartal ke kuartal atau secara tahunan. Dengan kuartal I yang cukup solid, kita akan jaga supaya di kuartal II dan III akan rebound, atau pemulihannya makin dipercepat,” demikian Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.