Selasa 16 Feb 2021 15:49 WIB

UU ITE, Multitafsir, Abu-Abu, dan Picu Ketidakadilan

Pakar sepakat revisi UU ITE sudah semestinya dilakukan.

Seorang relawan membawa kotak berisi surat dukungan petisi amnesti terpidana kasus pelanggaran UU ITE Baiq Nuril Maknun untuk diserahkan ke Kantor Staf Presiden, kompleks Istana Presiden, Jakarta, Senin (15/7/2019). UU ITE diusulkan untuk direvisi melalui inisiatif pemerintah. Sejumlah pasal di dalamnya dinilai sebagai pasal karet hingga implementasinya tak selalu mencerminkan keadilan hukum.
Foto:

Wacana sejumlah pasal dalam UU ITE disambut positif. Revisi dianggap bisa meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

"Jika revisi UU ITE itu benar-benar terjadi, ini akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Namun jika hanya isu dan revisinya tak jadi, maka kepercayaan publik terhadap Jokowi akan semakin luntur," kata Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komaruddin.

Ia melihat hal tersebut merupakan sebuah keuntungan bagi pemerintah untuk meraih kembali kepercayaan rakyat. Selain itu keuntungan dari sisi politik lainnya, Presiden Joko Widodo bakal dinilai bisa menjaga demokrasi.

"Jadi pertaruhannya ke depan adalah, jika kedepan ada rakyat yang kritis lalu dilaporkan dan ditangkap. Maka rakyat akan semakin marah. Namun jika semakin banyak yang kritis dibiarkan, maka pemerintah akan dianggap bisa mengelola demokrasi dengan baik," jelasnya.

Ia melihat yang mendasari sikap pemerintah merevisi UU ITE lantaran banyaknya masyarakat kritis yang dilaporkan dan ditangkap. Selain itu, adanya kritik terhadap masyarakat yang takut ditangkap dan turunnya indeks demokrasi juga dinilai melatarbelakangi sikap pemerintah membuka diri duduk bersama DPR merevisi UU ITE.

"Gunanya UU ITE direvisi, agar tak ada pasal-pasal karet, yang selama ini digunakan penegak hukum untuk menangkap mereka yang kritis terhadap kekuasaan," tuturnya.

Pakar hukum tata negara, Jimly Assshiddiqie, mengatakan, sejak awal disahkannya UU ITE, memang sudah muncul berbagai pelebaran tafsir hukum. Utamanya, tafsir yang merusak kebebasan warga untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat.

Jimly menambahkan, hingga kini semua pelaksana UU ia sebut tidak tergerak untuk memahaminya sebagai penyimpangan implementasi. Bahkan, cenderung melepaskannya dan membuat multitafsir baru lain yang dimanfaatkan banyak pihak.

‘’Sekarang sudah saatnya (untuk) diperbaiki,’’ ujar Ketua Umum ICMI itu kepada Republika, Selasa (16/2).

Jimly tak menampik, banyak contoh kasus saat ini yang memanfaatkan UU ITE yang dinilai masih multitafsir tersebut. Terlebih, kata dia, banyak para pengacara yang gagal meyakinkan para penegak hukum terkait hal tersebut. Atas dasar itu, dirinya meminta penyelenggara hukum dan negara untuk mulai memperbaikinya.

Pemerintah akan membuka jalur diskusi dalam wacana revisi UU ITE. "Pemerintah akan mendiskusikan inisiatif utk merevisi UU ITE," ungkap Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, dalam cicitan di akun Twitter pribadinya, @mohmahfudmd, dikutip Selasa (16/2).

Mahfud mengatakan, sekira pada 2007-2008 banyak pihak yang mengusulkan dengan penuh semangat untuk membentuk UU ITE. Namun, jika saat ini UU tersebut dianggap tidak baik dan memuat pasal-pasal karet, maka pemerintah terbuka untuk merevisinya.

"Jika sekarang UU tersebut dianggap tidak baik dan memuat pasal-pasal karet mari kita buat resultante baru dengan merevisi UU tersebut. Bagaimana baiknyalah, ini kan demokrasi," kata dia.

photo
Pelanggaran UU ITE - (republika/mgrol100)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement