REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Sukamta mengomentari pelaporan terhadap mantan ketua umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) atas dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku dengan tuduhan radikalisme oleh Gerakan Anti Radikalisme Institut Teknologi Bandung (GAR ITB). Sukamta menilai tuduhan tersebut tak berdasar.
Dia menilai, Din selama ini dikenal sebagai tokoh yang mengedepankan dialog dan mendorong moderasi. "Tuduhan radikal ini kan asal banget, sangat mungkin ada pesanan terkait kejadian ini. Beruntung tidak sedikit tokoh seperti dari Ormas Muhammadiyah dan NU yang memberi kesaksian Pak Din adalah tokoh moderat, bukan radikal. Saya kira ini bukti otentik bahwa tuduhan radikal itu absurd," kata Sukamta dalam keterangan tertulisnya, Jumat (12/2).
Ia juga menilai kejadian tersebut merupakan cerminan semakin bobroknya moral sebagian elite dan tokoh yang ditunjukkan dengan lebih mengedepankan sikap permusuhan dibandingkan dialog. Ia memandang, pihak yang melaporkan tersebut sedang menunjuk muka mereka sendiri sebagai orang intoleran dan suka menebar kebencian.
Ia pun mengaku sangat prihatin atas kejadian tersebut lantaran sikap elit dan tokoh yang seperti ini akan mendorong narasi kebencian meluas ke masyarakat. Akibatnya semakin mempertajam pembelahan di tengah masyarakat yang selama ini sudah terjadi. "Sangat berbahaya kondisi seperti ini bagi masa depan Indonesia. Mestinya saat ini elit dan tokoh berikan contoh dengan kedepankan dialog, bukan permusuhan," ujar dia.
Lebih lanjut Sukamta menyebutkan, apabila sejumlah pihak yang melaporkan Pak Din Syamsudin ini dilatarbelakangi tujuan membungkam kelompok kritis, maka hal tersebut salah besar dan akan jadi blunder atas pernyataan Presiden Jokowi yang minta masyarakat untuk kritis.
Di sisi lain, anggota Komisi I DPR RI ini menilai Peraturan Presiden No. 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (Perpres RAN PE) yang belum lama ini dikeluarkan pemerintah akan rawan disalahgunakan oleh elit dan tokoh yang punya watak permusuhan. Mengingat di dalam Perpres tersebut disebutkan adanya pelatihan pemolisian masyarakat.
"Ini yang sejak awal saya kritisi, jangan sampai masyarakat didorong untuk merespon peristiwa dengan sedikit-sedikit memunculkan prasangka negatif, apalagi definisi ekstemisme atau radikalisme bisa subjektif,"jelas dia.
Menurut Sukamta, nama baik orang yang mendapat tuduhan tersebut akan rusak karena telanjur tersebar luas pemberitaannya melalui media massa dan media sosial. "Yang seperti ini bisa mengarah kepada pembunuhan karakter, ini tentu akan membahayakan demokrasi," tambah dia.
Angggota DPR RI asal Yogyakarta ini berharap Pemerintah harus ikut turun tangan untuk mendorong dialog antar elit dan tokoh. Menurut dia, tidak ada upaya dialog antarelit baik di pusat maupun di daerah sejak pemilu 2014, sehingga perselisihan antara yang pro dan kontra tetap terjadi
"Jika dibiarkan akan merusak sendi-sendi kerukunan Bangsa dan Bhineka Tunggal Ika. Oleh sebab itu pemerintah harus bisa hadir di tengah semua pihak," ungkap dia.