REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyoroti kasus penyiksaan yang dilakukan oleh kepolisian kepada warga masih terus berulang. Hal itu mengingatkan pentingnya menanggulangi fenomena itu secara lebih serius.
"Aparat tidak boleh menganggap lumrah atau patut melakukan penyiksaan dengan alasan apapun," ujar Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (11/2).
Edwin mendesak, Polri sebagai penegak hukum untuk membangun mekanisme kontrol yang ketat untuk mencegah terjadinya penyiksaan, walau diakuinya terdapat tantangan secara struktural dan kultural. Namun, menurut dia, yang utama adalah mengubah persepsi kepatutan aparat terhadap tindakan penyiksaan.
Aparat, kata dia, wajib mengubah, khususnya penerapan metode dalam mendapatkan informasi untuk memenuhi alat bukti. Edwin mengatakan, instrumen peraturan terkait penyiksaan dalam norma hukum nasional cukup banyak, tetapi penyiksaan dalam KUHP cenderung disamakan dengan kasus penganiayaan.
Untuk itu, ia merekomendasikan agar dibuat regulasi khusus mengenai penyiksaan sebagai tindak pidana yang juga mengatur pemulihan dan ganti rugi untuk korban penyiksaan. "Sebaiknya kita sudah harus mulai merumuskan penyiksaan sebagai tindak pidana dalam rancangan KUHP," ujar Edwin.
Selain itu, ia juga mengusulkan agar Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) direvisi dengan memasukkan aturan tentang mekanisme penyelidikan dan/atau penyidikan kasus-kasus penyiksaan dilakukan oleh Komnas HAM untuk memastikan proses hukum berlangsung dengan adil.
Tindakan penyiksaan merupakan kejahatan prioritas yang ditangani oleh LPSK dan tercatat pada 2014-2020, terdapat 118 permohonan perlindungan kasus penyiksaan. Untuk 2020, LPSK memberikan perlindungan kepada 41 terlindung dari 14 kasus penyiksaan.
Profesi pelaku penyiksaan terbanyak berasal dari oknum anggota Polisi disusul TNI dan sipir lapas. Praktik penyiksaan yang banyak dilakukan oleh oknum polisi terjadi dalam tahapan pengungkapan perkara yang bertujuan untuk memperoleh pengakuan tersangka.
Adapun terakhir seorang warga Balikpapan, Kalimantan Timur, meninggal dunia setelah dijemput paksa dan dibawa ke Polres Balikpapan pada Desember 2020. Pada Januari lalu, Mapolsek Sungai Pagu, Kabupaten Solok Selatan, Sumatra Selatan diserang massa. Hal itu setelah polisi menembak DPO judi bernama Deki hingga tewas, yang membuat marah keluarga dan tetangga.