Rabu 10 Feb 2021 18:14 WIB

Soal Amdal, UUCK Disebut tak Hapus Keterlibatan Masyarakat

Keterlibatan masyarakat dilakukan secara proporsional.

Webinar Katadata dengan tema
Foto: Dok. Kat
Webinar Katadata dengan tema

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pro dan kontra bermunculan seiring proses pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi UU pada 5 Oktober 2020 lalu. Hal ini menjadi perhatian publik dan pemerhati lingkungan. Itu karena Undang-undang yang juga disebut Omnibus Law Cipta Kerja ini, dianggap memiliki banyak dampak negatif bagi lingkungan dan keanekaragaman hayati. 

Menurut Tim Serap Aspirasi Lingkungan Hidup, Prof. Budi Mulyanto, sejumlah tantangan yang dihadapi Indonesia di antaranya angka pengangguran, kemiskinan, serta impor pangan yang masih tinggi. Ia menganggap UUCK dapat mengupayakan penciptaan kerja menjadi lebih terukur. 

"Jadi ini mengharmoniskan kebijakan pemerintah di pusat maupun daerah untuk menunjang iklim investasi bagi penciptaan lapangan kerja. Memutus rantai birokrasi mencari izin saja bisa bertahun-tahun, nah ini bisa dipercepat," jelas Budi dalam webinar Katadata dengan tema 'Aturan Turunan UU Cipta Kerja' Rabu, (10/2). 

Selain itu, kata dia, regulasi pelaksaan UUCK terdapat 40 R-PP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) dan 4 Perpres (Peraturan Presiden), untuk menampung aspirasi masyarakat dan disampaikan pada pemerintah. Menurut Budi, masukan dan aspirasi dari masyarakat sangat beragam sehingga tidak semua diterima. 

"Masukan dan aspirasi masyarakat kita coba analisis, kualifikasikan, dan pertimbangkan. Ada yang diterima penuh, ada juga yang ditolak, tapi aspirasi sangat penting untuk improvement RPP yang ada," kata dia menambahkan. 

Direktur Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Ari Sujianto, memaparkan, Peraturan Pemerintah yang diganti merupakan izin lingkungan, pengelolaan kualitas dan pencemaran air, udara, hingga Limbah B3. Maka izin usaha tidak memasukkan persyaratan lingkungan, namun telah tercantum dalam izin lingkungan.

"Pada saat analisis dampak lingkungan, itu melibatkan uji kelayakan. Tidak dengan mengurangi kualitas lingkungan, mengalihkan beban. Serta tetap menjaga standar, integrasi, dan pemahaman konsep," ucap Ari. 

Ari menambahkan, UU Cipta Kerja juga tidak menghilangkan keterlibatan masyarakat dalam penyusunan dokumen amdal. Menurut Ari, keterlibatan masyarakat dilakukan secara proporsional.

“UU Ciptaker memberikan perhatian lebih terhadap kepentingan masyarakat yang terkena dampak langsung dari rencana usaha oleh pemrakarsa kegiatan dengan tetap membuka ruang bagi pemerhati lingkungan dan LSM pembina masyarakat terkena dampak,” ujarnya.

Masih menurut Ari, pengaturan keterlibatan masyarakat di luar masyarakat terkena dampak langsung dilakukan oleh pemerintah melalui Tim Uji Kelayakan (TUK). Dalam UU Ciptaker, dalam penyusunan amdal, masyarakat yang dilibatkan adalah masyarakat yang terdampak langsung dan LSM pembina langsung masyarakat.

Sementara itu, Direktur Eksekutif WALHI Nasional, Nur Hidayati, berpendapat bahwa keputusan dalam UUCK tidak melalui partisipasi masyarakat. Akhirnya membuat dampak pada lingkungan di mana masyarakat tinggal. 

"Kami bisa mengatakan bahwa proses partisipasi itu sangat rendah, non qparticipant karena tidak ada keterlibatan masyarakat, hanya ada pada yang memiliki kepentingan atau substansi," ungkapnya. 

Hal tersebut selaras dengan pernyataan Prof. Andri. G. Wibisana Ph D selaku Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Menurut dia, selama ini kontrol terhadap izin lingkungan masih kurang. 

"Izin dalam bidang lingkungan itu penting untuk mengontrol eksternalitas. Jadi izin lingkungan lebih penting dibandingkan izin usaha," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement