REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Nawir Arsyad Akbar, Zainur Mashir Ramadhan
Potensi gagalnya UU Pemilu direvisi oleh DPR dinilai sebagai keberhasilan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam mendisiplinkan koalisi partai pendukungnya. Belakangan memang, Golkar dan Nasdem berbalik arah dari mendukung kemudian menolak UU Pemilu untuk direvisi.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muhtadi pun lantas membandingkan koalisi pendukung Presiden Jokowi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di periode kedua kepemimpinan.
"Dari postur koalisi Jokowi dan SBY sama-sama besar di periode kedua. Tapi disiplin koalisi di Jokowi lebih kuat ketimbang SBY," kata Burhanuddin dalam Webinar IPI pada Senin (8/2).
Burhanuddin mengungkapkan , koalisi SBY cenderung pecah kongsi di parlemen. Kondisi ini berdampak pada sejumlah kasus besar dan regulasi yang ditangani DPR justru tak sesuai harapan SBY dan partai Demokrat.
"Waktu 2009 ada Golkar dan PKS sering beda sama instruksi pemerintah (SBY). Itu terlihat dalam kasus Bank Century dan kasus mafia pajak," ujar Burhanuddin.
Burhanuddin mengamati peta pertarungan di parlemen cenderung dapat diredam Presiden Jokowi. Contohnya gejolak revisi UU Pemilu berhasil diantisipasi hingga koalisi pendukung pemerintah bisa satu suara. Padahal sebelumnya partai Nasdem dan Golkar punya sikap berbeda.
"Kasus ini (perbedaan suara di parlemen) enggak terlihat di Jokowi. kebijakan satu saja di DPR. Banyak partai tapi satu kebijakan," ucap Burhanuddin.
Burhanuddin tak bisa berkomentar lebih lanjut mengapa Presiden Jokowi dapat meredam gejolak parpol pengusungnya di parlemen.
"Kenapa bisa begini? Apa disiplin Jokowi lebih kuat? Hanya Allah dan para politisi yang tahu," sebut Burhanuddin.
Tercatat, fraksi-fraksi yang awalnya mendukung revisi UU Pemilu adalah PKS, Partai Demokrat, Partai Nasdem, dan Partai Golkar. Belakangan, Partai Golkar dan Partai Nasdem akhirnya berbalik arah menolak revisi UU Pemilu.
"Ya saya kira, dalam pembahasan UU harus ada pandangan yang sama, bahkan kesepakatan yang sama antara pemetintah dan DPR," ujar Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia Tandjung dalam diskusi daring, Senin (8/2).
DPR, kata Doli, merupakan perwakilan dari partai politik. Sedangkan Golkar sendiri adalah bagian dari koalisi pemerintahan Jokowi dan disebut memiliki kesamaan pandangan terhadap undang-undang tersebut.
"Saya kira ada diskusi sangat intensif antara pemerintah dengan pimpiman parpol kami, sehingga pada akhirnya kemudian sampai pada satu kesimpulan kita tunda pembahasan revisi UU ini," ujar Ketua Komisi II DPR itu.
Sedangkan PKB menyampaikan hal yang sedikit berbeda. Wakil Ketua Komisi II Fraksi PKB Luqman Hakim dalam forum diskusi yang sama mengatakan, pihaknya sejak awal mendukung pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada 2024.
Terkait UU Pemilu, ia menilai PKB memandang upaya revisi harus mencakup masalah-masalah mendasar yang menjadi temuan kekurangan pada pelaksanaan Pemilu 2019. "Jadi tidak ada pengaruh, misalnya kalaupun terakhir presiden minta ini, minta itu, PKB tidak ada pengaruhnya di situ," ujar Luqman.
Diketahui, survei nasional IPI menunjukkan masyarakat cenderung memilih Pilkada tidak digelar serentak dengan Pilpres dan Pileg di tahun 2024. Sebesar 63,2 persen responden survei nasional ini menghendaki Pilkada dipisah dengan Pilpres dan Pileg.
Sebelumnya, Index Politica juga merilis hasil survei terbaru terkait persepsi masyarakat terhadap isu politik dan ekonomi Indonesia. Sebanyak 53,4 persen responden tak setuju Pilkada digelar bersamaan dengan Pileg dan Pilpres. Sementara itu 13,4 responden sangat tidak setuju Pilkada digelar bersamaan dengan Pileg dan Pilpres.