Ahad 07 Feb 2021 12:56 WIB

RUU Pemilu Dinilai Minim Partisipasi Publik 

Hal ini terlihat dari kemunculan polemik terkait penolakan revisi UU Pemilu.

Rep: Mimi Kartika / Red: Ratna Puspita
Pencoblosan di Pemilu (ilustrasi)
Foto: republika
Pencoblosan di Pemilu (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia Anwar Razak mengatakan, proses revisi Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) minim partisipasi publik. Menurutnya, hal ini terlihat dari kemunculan polemik terkait penolakan revisi UU Pemilu, bukan masalah subtansial soal aturan-aturan yang harus dibenahi. 

"Kita-kita saja yang hampir setiap saat menongkrongi kebijakan yang keluar dari DPR, itu hampir tidak punya kesempatan yang diberikan oleh DPR RI untuk kemudian memberikan masukan," ujar Anwar dalam diskusi daring Maju-Mundur Revisi Undang-Undang Pemilu, Ahad (7/2) 

Baca Juga

Padahal, kata dia, amanat UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundangan-undangan, sosialisasi dan publikasi proses pembentukan UU kepada masyarakat sudah dimulai dari adanya naskah akademik dan rancangan UU (RUU). Sosialisasi ini guna menerima tanggapan maupun masukan dari publik. 

"Kalau kita melihat kan hanya pusaran perbincangan ini di seputar fraksi, anggota DPR, masyarakat sipil yang hari ini juga kita hanya memperbincangkan maju mundur, tarik menarik, kita tidak memperbincangkan subtansial dari kepemiluan," kata Anwar. 

Menurut dia, beberapa alasan memang membuat revisi UU Pemilu penting dilaksanakan. Karena itu, ia berharap, proses perubahannya harus mempertimbangkan partisipasi publik. 

"Sehingga menurut saya kalau memang akan maju lagi revisi ini, maka kemudian partisipasi publik harus sangat dipertimbangkan untuk proses ini," tutur dia. 

Anwar mengatakan, setidaknya ada tiga persoalan mendasar yang harus dibenahi, bukan hanya berkutat pada sistem pemilu, jadwal pemilihan, dan ambang batas. Pertama, permasalahan penting yang harus dijawab dalam RUU Pemilu nanti ialah aturan kepesertaan pemilu, dalam hal ini partai politik (parpol) yang mengikuti pemilihan. 

Menurut dia, selama ini UU Pemilu yang ada di Indonesia belum mendorong parpol untuk sehat secara pendanaan dan pengeluaran. UU hanya mengatur soal kepengurusan partai sampai ke tingkat daerah. 

Anwar menyebutkan, sejauh ini belum ada parpol yang sehat dari sisi keuangan. Data hasil penelitian Kopel Indonesia pada 2013 lalu ditemukan, pendanaan parpol merupakan isu krusial yang harus diperbaiki, seperti banyaknya pengeluaran yang tidak tercatat. 

"Banyak sekali kegiatan dengan pendanaan yang begitu besar ketika kita mengecek laporan, itu tidak kelihatan pendanaan itu besar, tetapi kegiatan wah di hotel dan sebagainya, berbagai macam dengan jumlah anggaran yang besar itu tampak, tetapi tidak kelihatan dalam pelaporan keuangan," jelas Anwar. 

Kedua, persoalan rekrutmen calon legislatif (caleg) dengan fenomena kutu loncat atau kader yang mudah berpindah dari satu partai ke partai lainnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah parpol melakukan kaderisasi secara optimal atau tidak, yang ada justru saling tarik menarik kader untuk kepentingan pemilihan tertentu. 

Ketiga, isu yang seharusnya menjadi perdebatan serius dalam revisi UU Pemilu adalah mengatasi politik uang yang menjamur di Tanah Air. Persoalan ini belum terselesaikan dengan baik melalui pengaturan di undang-undang. 

"Ini menurut kami harus dibahas serius, bagaimana desain kepemiluan kita betul-betul bisa clear dari money politic. Bagaimana seseorang yang terpilih tidak berpikir bahwa saya ini sudah mengeluarkan banyak uang, karena dari awal melakukan praktik-praktik politik uang," kata dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement