Ahad 07 Feb 2021 00:14 WIB

Perempuan dan Anak Jadi Kelompok Paling Rentan Pengungsian

Relawan menyebut perkawinan anak marak terjadi di pengungsian

Dalam situasi pascabencana, anak-anak menjadi pihak paling rentan mengalami trauma. Untuk itu, dibutuhkan pendampingan khusus secara psikologis bagi anak-anak yang menjadi korban bencana. Seperti yang terjadi di pengungsian korban gempa Mamuju-Majene, Sulawesi Barat.
Foto: istimewa
Dalam situasi pascabencana, anak-anak menjadi pihak paling rentan mengalami trauma. Untuk itu, dibutuhkan pendampingan khusus secara psikologis bagi anak-anak yang menjadi korban bencana. Seperti yang terjadi di pengungsian korban gempa Mamuju-Majene, Sulawesi Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Relawan korban bencana di Mamuju, Sulawesi Barat Ridwan Alimuddin menyatakan banyak persoalan yang dihadapi ibu dan anak dipengungsian. Ia menyebut perempuan dan anak, memang menjadi pihak yang rentan saat bencana terjadi.

“Kami sering didatangi ibu-ibu menggendong bayi. Mereka menempuh puluhan kilometer akses jalan yang rusak dengan sepeda motor untuk mengambil bantuan yang belum mereka dapatkan. Kami sebagai relawan berharap, ketika ada bantuan dari pemerintah tolong perhatikan kebutuhan untuk ibu dan anak. Paling tidak orang tua ngga pusing mencari minyak telon, ngga kebingungan mencari selimut untuk bayinya” tutur dia Jumat (6/2). 

Belum lagi banyak pernikahan dini di lokasi gempa di Sulawesi Barat. Ibu ibu muda berusia 13 hingga 15 tahun yang sudah memiliki bayi dan balita, kebingungan saat bencana melanda. 

Satu hal yang makin memprihatinkan menurut dia adalah dua bayi meninggal dunia karena sakit di pengungsian. Nyawa mereka tak tertolong meski sudah dibawa ke rumah sakit.

Karmila Bakrie, relawan Sahabat Bencana di Majene, Sulawesi Barat, yang melaporkan langsung dari dusun Tamerimbi, desa Kabiraan, kecamatan Ulumanda, Majene, Sulawesi Barat menyebut masih ada tiga dusun yang terisolasi. Di dalamnya ada 31 bayi dan balita, 20 orang lanjut usia, 2 penyandang disabilitas dan 6 ibu hamil tanpa didampingi tenaga medis.

Relawan juga mengkritisi ketidak sesuaian data pemerintah soal korban bencana, padahal data menjadi acuan utama untuk menyalurkan bantuan.

Menanggapi laporan relawan yang melihat langsung kondisi pengungsi korban gempa utamanya perempuan dan anak. Kepala Pelaksana BPBD Sulawesi Barat Darno Majid, meminta relawan berkomunikasi dengan pemerintah daerah untuk mempercepat pergerakan distribusi bantuan di masa transisi menuju fase rehabilitasi.

Sementara itu, Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Raditya Jati mengatakan pengungsi perempuan dan anak selalu menjadi prioritas BNPB. 

Bantuan untuk wilayah terisolasi pun dimaksimalkan melalui jalur udara dengan bantuan TNI. BNPB juga menyadari ada tantangan untuk menggerakkan siaga bencana yang melibatkan perempuan yang harus digarap BNPB. Sejauh ini, BNPB memulainya dengan gerakan Srikandi Siaga Bencana dan Srikandi Sungai.

Tak hanya pemenuhan kebuutuhan dasar, penanganan korban bencana di tengah pandemic Covid-19 juga menjadi sorotan dalam diskusi virtual yang mengambil tema Bangkit dari Bencana ini. Salah seorang peserta yang juga dokter dari Emergency Medical Team Ikatan Dokter Indonesia, dr. Tri Maharani menyebut dari hasil swab PCR menunjukkan peningkatan 70 persen kasus positif Covid-19 yang menjangkiti pengungsi dan relawan. 

“Kami melihat belum ada tenda ramah anak dan perempuan di wilayah terpencil. Padahal tak hanya tenda ramah anak dan perempuan saja, tapi juga tenda khusus isolasi pasien covid 19," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement