REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh mengarahkan agar Fraksi Partai Nasdem DPR mengambil sikap untuk tidak merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Termasuk mendukung pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di 2024.
Menurut Surya, Indonesia saat ini tengah berjuang menghadapi pandemi Covid-19. Untuk itu, ia menilai perlunya menjaga soliditas partai politik koalisi pemerintahan dan bahu-membahu menghadapi pandemi.
"Cita-cita dan tugas Nasdem adalah sama dengan Presiden, yakni untuk kemajuan dan masa depan bangsa yang lebih baik," ujar Surya Paloh lewat keterangan resminya, Jumat (5/2).
Nasdem sebagai partai politik, kata Surya Paloh, berkewajiban melakukan telaah kritis terhadap setiap kebijakan. Namun, pihaknya tetap lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas segala-galanya.
Arahan Surya Paloh ini berbeda dengan keinginan Nasdem sebelumnya yang mendukung wacana revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang di dalamnya akan mengatur ketentuan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada 2022 dan 2023. Jika Pilkada digelar 2024 mengacu undang-undang yang ada saat ini, Nasdem menilai, akan banyak melahirkan pelaksana tugas (Plt) kepala daerah yang mambuat hak publik terabaikan.
"Pelayanan publik jadi terganggu. Padahal kebutuhan publik adalah salah satu tanggung jawab utama seorang pemimpin hasil pemilihan,” ujar Wakil Ketua Fraksi Nasdem DPR Willy Aditya lewat keterangannya, Selasa (2/2).
Padahal menurut Nasdem, Pemilu adalah wadah untuk melahirkan pemimpin yang dipilih masyarakat. Sehingga, kepala daerah yang terpilih memiliki tanggung jawab langsung kepada masyarakat.
Jika Pilkada dan pemilu dilaksanakan serentak pada 2024, penyelengaraannya dinilai berisiko. Berkaca pada pelaksanaan pemilihan legislatif dan presiden serentak pada 2019 yang membuat banyak kelompok petugas pemungutan suara (KPPS) kewalahan.
“Kita harus berani mengakui bahwa kita masih terus berproses dalam upaya memperbaiki sistem elektoral kita. Masih banyak kekurangan di sana-sini, baik secara kualitatif maupun kuantitatifnya. Jadi jangan sampai kita mengulang kebodohan yang sama,” ujar Willy.
Di samping itu, Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 55/PUU-XVII/2019 juga telah mengubah pendiriannya terhadap konstitusional pemilihan serentak. Putusan tersebut baginya menunjukkan bahwa masyarakat tidak boleh menjadi manusia legalis.
"Ada aspek-aspek lain yang harus senantiasa kita lihat secara dialektis, baik dari aspek sistemnya, efisiensi dan efektivitasnya, dan terutama aspek menyangkut hak pemilih dan kemaslahatan penyelenggaraannya," ujar Willy.
Menurutnya, ciri negara yang demokrasinya solid atau terkonsolidasi adalah peralihan kekuasaan secara berkala. Lewat pemilu atau pilkada yang jujur, adil, dan terselenggara secara periodik menjadi wujud paling nyata dari peralihan itu.
"Mekanisme pemilu atau pilkada yang reguler ini dapat dinikmati oleh elite dan massa sebagai mekanisme yang absah dan konstitusional dalam pergantian Kekuasaan. Dengan demikian kereguleran ini tidak hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu saja," ujar Willy.