REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Teuku Riefky Harsya menegaskan pihaknya tak menuduh pejabat pemerintahan lain terlibat dalam gerakan pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat (GPK PD), selain Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko. Menurutnya, Moeldoko sendirilah yang menyebut nama-nama selain dirinya.
"Untuk tidak menjadi salah pengertian, Partai Demokrat tidak pernah menuduh para pejabat pemerintahan terlibat dalam GPK PD tersebut. Adapun yang menyebut nama-nama para pejabat pemerintahan berasal dari Saudara Moeldoko," ujar Teuku lewat keterangan resminya, Jumat (5/2).
Lewat surat yang dikirimkan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) kepada Presiden Joko Widodo pada 1 Februari, Demokrat berkeyakinan menteri atau pejabat setingkat lainnya tak mengerti adanya gerakan tersebut. Bukan tak mungkin, nama-nama tersebut hanya dicatut oleh oknum yang dinilai sebagai sebuah pembusukan politik.
Meski begitu, Demokrat menghormati sikap Jokowi yang tidak berniat membalas surat yang dikirimkan oleh AHY. Pihaknya juga berterima kasih kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD dan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly yang sudah memberikan klarifikasi bahwa mereka tak terlibat.
"Ini membuktikan keyakinan kami bahwa tidak benar jika pejabat negara tersebut terlibat dalam gerakan ini," ujar Teuku.
Meski begitu, Demokrat meyakini bahwa gerakan pengambilalihan bukanlah wacana yang hadir dari internal partai. Ia menegaskan, ada pihak dari luar partai atau eksternal yang terlibat dalam upaya menggulingkan kepemimpinan AHY, yaitu Moeldoko.
Pasalnya, pihaknya telah menemukan fakta yang menunjukkan bahwa Moeldoko bukan hanya mendukung gerakan tersebut. Namun, mantan panglima TNI tersebutlah yang terlibat aktif dalam upaya mengambil alih kepemimpinan lewat kongres luar biasa (KLB).
"Jika tindakan Saudara Moeldoko dibiarkan dan dibenarkan, yang dengan kekuasaan yang dimilikinya sebagai pejabat negara telah melakukan gerakan untuk mengambil alih kepemimpinan partai secara paksa, tentu sangat mencederai rasa keadilan di negeri ini," ujar Teuku.
Demokrat, kata Teuku, mengingatkan Moeldoko, kekuasaan yang dimilikinya bukan berarti bisa berbuat seenaknya. Ia meminta agar Moeldoko mengindahkan aspek moral, etika, hukum, dan keadilan sebagai pedoman. Ambisi Moeldoko terhadap kekuasaan disebutnya tak boleh menabrak etika politik, yakni rule of the law dan rule of the game.
"Kalau hal begitu menjadi kultur dan kebiasaan, betapa terancamnya kedaulatan partai-partai politik di negeri ini. Sekaligus tidak aman dan rapuhnya kehidupan demokrasi kita," tegas Teuku.