REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Total kasus infeksi virus corona di Indonesia telah melewati satu juta kasus, menjadikan Indonesia negara pertama di Asia Tenggara yang mencapai jumlah tersebut.
Pakar epidemiologi UGM, dr Riris Andono, menyebut bahwa jumlah ini menunjukkan bahwa penularan Covid-19 di Indonesia belum bisa dikendalikan dan karenanya diperlukan kebijakan yang lebih serius untuk mengatasi pandemi.
"Yang lebih penting adalah maknanya bagi pengendalian Covid-19, apakah jumlah ini bisa memicu kebijakan yang lebih serius untuk menekan penularan atau tidak," kata Riris.
Ia mengungkapkan, hingga saat ini kurva pandemi di Indonesia belum mencapai puncaknya. Kurva ini sempat melandai, namun ketika mobilitas penduduk mulai dilonggarkan tingkat penularan pun terus meningkat hingga kini kapasitas rumah sakit tidak lagi mampu menampung pasien.
"Ini tanda kita sedang dalam periode yang menanjak tinggi, karena penularan sudah meluas di masyarakat," ucapnya.
Pengendalian pandemi, terangnya, memerlukan kebijakan yang tegas terutama dalam pembatasan mobilitas. Ketika kondisi penularan sudah begitu masif, penerapan 3M tidak lagi cukup.
Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di wilayah Jawa-Bali selama dua pekan pada 11 – 25 Januari lalu juga dirasa tidak cukup efektif untuk menekan penularan karena pada kenyataannya tingkat mobilitas masyarakat tidak banyak berubah.
Kebijakan pembatasan jam operasional pusat perbelanjaan hingga pukul 19.00 menurutnya juga tidak bermanfaat jika jumlah orang yang mengunjungi tempat tersebut tidak berkurang secara signifikan.
"Yang lebih penting bukan durasinya diperpendek sedikit, tapi lebih pada seberapa banyak orang per satuan waktu yang ada di tempat tersebut," ujarnya.
Jumlah kasus yang justru meningkat selama penerapan PPKM menunjukkan bahwa kebijakan ini tidak efektif. Kebijakan yang tidak dilakukan secara maksimal bahkan dapat menurunkan kepercayaan masyarakat.
"Kebijakan yang setengah-setengah hasilnya justru akan kontraproduktif. Masyarakat jadi tidak percaya dengan PPKM karena mereka lebih susah tapi ternyata kasusnya justru meningkat," kata Riris.
Untuk memperoleh hasil yang diharapkan, diperlukan kebijakan yang mampu menurunkan mobilitas secara masif, setidaknya hingga mencapai 70 persen.
Jika lebih dari 70 persen populasi tidak melakukan pergerakan di luar rumah selama dua pekan, maka mereka yang telah tertular dapat sembuh di tempat tinggalnya sendirinya dan tidak sempat menularkan virus kepada orang lain.
"Mereka yang tinggal serumah mungkin bisa tertular, tapi penularannya akan berhenti di rumah tersebut. Baru setelah itu digencarkan lagi test and treat untuk mencari mereka yang masih memiliki kemungkinan menularkan setelah dua minggu," papar Riris.
Lebih lanjut ia menambahkan, keseriusan pemerintah harus ditunjukkan tidak hanya dalam merancang kebijakan tetapi juga dalam implementasinya. Meski kebijakan seperti PSBB atau PPKM terus diperpanjang tapi tanpa keseriusan dalam implementasinya, maka tujuan pengendalian tidak dapat tercapai.
Pembatasan secara ketat, imbuhnya, mungkin akan menuai respons negatif dari masyarakat. Namun langkah ini sudah dilakukan di sejumlah negara dan terbukti membuat negara-negara tersebut mampu melewati gelombang pertama pandemi.
“Kenormalan baru itu bukan berubah menjadi suatu kondisi yang tetap. Kondisi tarik ulur seperti ini, antara pengetatan dan pelonggaran, itulah new normal,” ujarnya.