Jumat 29 Jan 2021 19:41 WIB

KPK Harus Dalami Keterlibatan Istri Edhy Prabowo

Keterlibatan istri Edhy Prabowo harus ditelusuri karena ia adalah anggota DPR.

Rep: Dian Fath Risalahhuku/ Red: Indira Rezkisari
Mantan Menteri Perikanan dan Kelautan Edhy Prabowo.
Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA
Mantan Menteri Perikanan dan Kelautan Edhy Prabowo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu mendalami dugaan keterlibatan Iis Rosita Dewi, istri mantan Menteri KKP Edhy Prabowo dalam kasus dugaan suap perizinan ekspor benih Lobster. Terlebih, Iis Rosita merupakan penyelenggara negara dengan status anggota DPR RI.

“Dugaan keterlibatan istri EP ini harus ditindaklanjuti KPK secara mendalam, kenapa? Karena status istri EP ini adalah seorang pejabat negara dalam hal ini adalah seorang anggota DPR,” kata Zaenur kepada Republika, Jumat (29/1).

Baca Juga

Pada Rabu (25/1) kemarin, penyidik  meminta keterangan kepada Alayk Mubarrok yang merupakan tenaga ahli Iis. Alayk diduga mengetahui aliran uang yang diterima oleh tersangka Edhy Prabowo dan tersangka Amiril Mukminin yang kemudian diduga ada penyerahan uang yang diterima oleh Iis melalui Alayk.

"Nah jika ada dugaan istri Edhy Prabowo ini menerima aliran, maka yang perlu didalami KPK adalah, apakah penerimaan tersebut terkait atau tidak terkait dengan jabatannya sebagai anggota DPR," tutur Zaenur.

Kedua, walaupun  tidak terkait, jabatannya sebagai anggota DPR, menurut Zaenur, harus tetap didalami ihwal perdagangan pengaruhnya. Sebab sudah beberapa contoh perkara tersebut di KPK.

“Seperti halnya kasus yang menimpa misalnya LHI (Luthfi Hasan Ishaq) atau kasus IG (Irman Gusman) yang dimana pengaruhnya, kemudian seorang pejabat negara, meski bukan punya jaabatan langsung berkaitan dengan urusan yang ditangani terkait kewenangannya, tetapi karena pengruhnya itu menerima pemberian misalnya. Nah, itu harus didalami KPK,” kata Zaenur.

Bahkan, bila merujuk konteks konvensi PBB, KPK pun sudah pernah mengusut korupsi yang menggunakan perdagangan pengaruh. Salah satunya yakni kasus mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq dan mantan Ketua DPD RI Irman Gusman.

“Karena berdasarkan kasus yg pernah ditangani KPK, kasus Irman Gusman dan Lutfi Hasan, yang sebenarnya dalam konteks konvesi PBB adalah trading influence bisa dijerat soal suap atau gratifikasi. Nah tetapi ini kembali apakah benar soal adanya aliran tersebut, atau alirannya benar-benar hanya penerimaan atas nama EP, jadi sifatnya dia (Iis) hanya menerima,” ucap Zaenur.

Zaenur melanjutkan, bila sifatnya hanya menerima, KPK pun harus melihat peluang, apakah Iis bisa

dimintai pertanggungjawaban dengan menerapkan pasal suap atau gratifaksi ataupun TPPU.

“Yang jadi jadi concern di sini, istri EP ini adalah pejabat negara, di mana di situ unsur yang bisa diarahkan ke bersangkutan karena pejabat negara dilarang menerima pemberian atas dasar apapun. Tapi kalau itu pemberian dari suaminya secara langsung, nah itu mungkin TPPU, tetapi kalau pemberian dari orang lain menurut saya bisa dilihat peluang dijerat suap atau gratifikasi,” terang Zaenur

Oleh karenanya, KPK harus mendalami hal itu secara teliti. Sehingga, bila benar ada penerimaan tersebut, pasal mana nantinya yang dapat diterapkan kepada Iis secara tepat.

“Jadi harus dilihat konsepsi hukumnya secara mendalam. Apakah pemberian suami maka dikejar TPPU, kalau pemberian orang lain meskipun tanda kutip jatah suaminya tapi diterima yang bersangkutan sedangkan yang bersangkutan merupakan anggota DPR, maka harus gunakan peluang gunakan pasal suap dan gratifikasi,” kata dia.

Dalam perkara ini, KPK menetapkan tujuh tersangka terkait penetapan perizinan ekspor benih lobster pada Rabu (25/11) malam. Tujuh tersangka itu terdiri dari seorang tersangka pemberi dan enam tersangka penerima.

Tersangka penerima, yaitu Edhy Prabowo (EP), Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan sekaligus Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Safri (SAF), Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan sekaligus Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Andreau Pribadi Misata (APM), Amiril Mukminin (AM) dari unsur swasta/Sekretaris Pribadi Edhy, pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswadi (SWD), staf istri Menteri Kelautan dan Perikanan Ainul Faqih (AF). Tersangka pemberi, yakni Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP) Suharjito (SJT).

Para tersangka penerima disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sementara tersangka pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement