Jumat 29 Jan 2021 18:44 WIB

Pro Kontra Normalisasi Pilkada, Setelah atau Bareng Pilpres?

Pilkada serentak di 2024 dipandang lebih realistis saat pandemi.

Distribusi logistik pilkada (ilustrasi). Normalisasi pilkada di 2022 dan 2023 masih menjadi perdebatan di DPR dalam revisi UU Pemilu. PDIP misalnya menolak normalisasi dan meminta pilkada tetap digelar pada 2024.
Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Distribusi logistik pilkada (ilustrasi). Normalisasi pilkada di 2022 dan 2023 masih menjadi perdebatan di DPR dalam revisi UU Pemilu. PDIP misalnya menolak normalisasi dan meminta pilkada tetap digelar pada 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Haura Hafizhah, Rizky Suryarandika, Febrianto Adi Saputro

Wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah (pilkada) kembali ke tahun 2022 dan 2023 mengemuka lewat rencana revisi UU Pemilu. Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin, menilai pilkada yang akan digelar serentak pada 2024 membuat daerah tidak sehat. Sebab, para pelaksana tugas (Plt) akan menganggur selama dua tahun.

Baca Juga

"Pilkada bagusnya diadakan di 2022 dengan catatan pandemi Covid-19 mengalami penurunan atau landai. Lalu, di 2022 banyak kepala daerah yang masa jabatannya habis ya sekitar 101 daerah. Jika memang pilkada tetap diadakan pada 2024, maka akan terjadi keramaian karena juga akan ada pemilu. Selain itu, para Plt menganggur selama dua tahun. Plt tuh tidak lama ya paling enam bulan menjelang pilkada," katanya saat dihubungi Republika, Jumat (29/1).

Kemudian, ia melanjutkan terdapat salah satu partai yang setuju dengan pilkada yang diadakan pada 2024 yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Menurutnya, PDIP akan mengambil keuntungan pada Pilkada 2024.

"PDIP itu kan partai pemerintah dan partai penguasa. Kenapa dia maunya Pilkada 2024? karena PDIP mau mengambil daerah strategis yaitu DKI Jakarta. Anies Baswedan kan sudah tidak berdaya dan tidak punya kekuasaan. Maka, di 2024 itu PDIP mau mengambil kemenangannya lagi," kata dia.

Ia juga melihat saat ini partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) sedang mendekati Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan serta menentukan pilihan ingin pilkada pada 2022 atau 2024.  "Ya saya liat Gerindra lagi mendekati Anies. Nanti hasilnya kami bisa tahu dari keputusan mereka (Anies dan Gerindra). Politik ini kan dinamis, ya. Bisa serba kemungkinan. Lihat nanti saja," kata dia.

Dalam pasal 173 ayat (2) RUU Pemilu dijelaskan bahwa pilkada yang digelar 2017 digelar pada 2022. Sedangkan dalam UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pilkada tahun 2022 dan 2023 dilakukan serentak pada 2024.

Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kendagri) menanggapi wacana revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diusulkan oleh DPR. Menurutnya, revisi saat ini tidaklah tepat.

"UU tersebut belum dilaksanakan. Tidak tepat jika belum dilaksanakan, sudah direvisi," ujar Bahtiar kepada wartawan, Jumat (29/1).

Menurutnya, UU Pemilu yang ada saat ini sebaiknya dilaksanakan terlebih dahulu. Jika ada kekurangan di dalamnya, barulah rencana revisi diperlukan demi Pemilu yang lebih baik.

"Sesuai dengan UU yang masih berlaku tersebut, maka jadwal pilkada berikutnya adalah 2024. Jadi, jika pilkada dilaksanakan sesuai jadwal, maka jadwalnya adalah 2024," ujar Bahtiar.

Di samping itu, melihat kondisi Indonesia yang saat ini menghadapi pandemi Covid-19, sebaiknya semua pihak untuk fokus menangani hal ini. "Saat ini kita sedang menghadapi pandemi, menghadapi krisis kesehatan dan perekonomian, seharusnya kita fokus untuk menyelesaikan krisis ini," ujar Bahtiar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement