REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan pihaknya bertanggungjawab memastikan pelaksanaan 3T (testing, tracing, dan treatment) tetap berjalan. Budi mengaku pihaknya akan terus berusaha agar bisa menekan laju penularan Covid-19 di Indonesia.
Total akumulasi kasus positif Covid-19 di Tanah Air sendiri sudah menembus satu juta kasus positif per Selasa (26/1). Menkes meminta seluruh pihak bekerja sama untuk menyukseskan 3T ini.
"Ini tanggung jawab Kemenkes untuk memastikan bahwa program testing rakyat yang diduga terinfeksi agar kami bisa mengidentifikasi dan mengurangi laju penularan," ujar Budi saat berbicara di konferensi virtual Sekretariat Presiden, Selasa (26/1) sore.
Ia menambahkan, Kemenkes juga harus melakukan tracing atau pelacakan terhadap kontak erat orang yang sudah positif terinfeksi virus sehingga bisa mengurangi laju penularan. Terakhir, Kemenkes juga menyadari harus menyiapkan tempat isolasi yang nyaman agar pasien yang terinfeksi Covid-19 bisa sembuh tanpa menulari yang lain.
"Di sini Kemenkes akan bekerja sangat keras untuk memastikan bahwa program testing, tracing, dan isolasi bisa kami lakukan dan eksekusi," tegasnya.
Sebelumnya, Kemenkes sudah mengakui kemampuan pelacakan pasien Covid-19 belum memenuhi sasaran sesuai standar organisasi kesehatan dunia PBB (WHO). Yakni, satu pasien terkonfirmasi positif bisa melacak 30 kontak erat. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Ditjen P2P Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengakui rasio tracing di Indonesia belum bisa memenuhi sasaran tersebut.
"Jadi kami paling banyak bisa melacak 10-15 orang kontak erat padahal WHO bilang 30 (orang)," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Senin (25/1).
Nadia mengakui kemampuan mengingat seseorang termasuk pasien terkonfirmasi tidaklah mudah, termasuk dalam sehari bepergian kemana saja dan bertemu dengan siapa saja. Kendati demikian, ia menegaskan kemampuan tracing memang harus diperkuat. Misalnya dengan memanfaatkan teknologi, tidak hanya mengandalkan wawancara.
Nadia menyebutkan di negara-negara luar bisa diketahui dari handphone-nya. Artinya posisi lokasi orang yang dilacak itu tidak boleh mati dan bisa dipetakan. Hal ini telah dilakukan di Korea Selatan. Namun, ia menyebutkan kendala pelacakan tidak hanya masalah teknologi. Ia menyebutkan ketika melacak kontak erat dan ketika dicurigai tertular virus maka kontak erat harus menjalani pemeriksaan swab Polymerase Chain Reaction (PCR).
"Sementara untuk periksa PCR kan antre, ada yang empat hari bahkan 10 hari baru keluar hasilnya. Padahal, orang yang dites itu bisa jadi orang tanpa gejala dan dia sudah jalan-jalan kemana, berhubungan dengan orang lain kan," katanya.
Kemenkes mengakui kemampuan Indonesia masih sangat bergantung pada laboratorium hingga kemampuan untuk memeriksa realtime PCR. Namun, WHO tiga bulan lalu membolehkan rapid antigen sebagai alat diagnostik. Kemenkes memperluas pemeriksaan dengan mengirimkan rapid antigen ke seluruh pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di Tanah Air.
"Ini sedang proses pendistribusian rapid antigen ke seluruh puskesmas," ujar Nadia. Rencananya, dia menambahkan, peraturan menteri kesehatan (permenkes) akan keluar pekan depan mengatur penggunaan rapid antigen ini. "Diharapkan akhir Februari 2021, sebagian puskesmas menggunakan rapid antigen tersebut," ujarnya.