Selasa 26 Jan 2021 13:34 WIB

Hoaks-Hoaks Vaksinasi Covid-19

Ada 3 golongan penyebar beritaa hoaks dan meragukan vaksinasi covid-19 di Indonesia.

Rep: Anadolu/ Red: Elba Damhuri
Petugas kesehatan menyiapkan vaksin COVID-19 Sinovac yang akan diberikan pada tenaga kesehatan di Rumah Sakit Darurat (RSD) Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, Selasa (26/1/2021). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan sebanyak 179.000 orang tenaga kesehatan telah melakukan vaksinasi Sinovac hingga hari Senin (26/1/2021) untuk mengejar target penyelesaian vaksin pada akhir tahun 2021.
Foto:

Gerakan anti-vaksin seperti yang disebut Septiaji sebenarnya merupakan fenomena lama dan global.

Executive Secretary Indonesian Technical Advisory Group on Immunisation (ITAGI) Julitasari Sundoro menjelaskan bahwa gerakan anti-vaksin sudah lahir sejak vaksin cacar dipakai pertama kali pada awal abad ke-18.

Gerakan tersebut makin berkembang secara global di era internet, disertai maraknya informasi yang menyesatkan tentang vaksin, baik oleh dokter dan tokoh publik yang anti-vaksin.

“Di saat vaksin makin populer, lahir komunitas dan pemahaman yang menolaknya yakni kaum anti-vaksin,” kata Julitasari dalam dialog virtual di Media Center Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional baru-baru ini.

Kampanye anti-vaksin sendiri pernah marak antara 2012 hingga 2018, di saat Indonesia menghadapi kejadian luar biasa (KLB) difteri.

Dampak dari buruknya strategi komunikasi pemerintah

Maraknya hoaks vaksin dapat menggerus tingkat kepercayaan masyarakat terhadap vaksin Covid-19.

Apalagi sebelum vaksinasi dimulai, sejumlah survei telah menunjukkan adanya masyarakat yang menolak vaksin atau ragu-ragu terhadap vaksin Covid-19.

Survei Laporcovid19.org yang diterbitkan 13 Oktober 2020, misalnya, hanya 31 persen responden menyatakan bersedia menerima vaksin Biofarma-Sinovac yang saat itu menjalani uji klinis fase tiga, dan sebanyak 69 persen responden menyatakan ragu-ragu hingga tidak bersedia.

Kemudian, hasil survei daring tentang Penerimaan Vaksin Covid-19 yang digelar Unicef, WHO, dan Kementerian Kesehatan, ada 8 persen responden yang menolak vaksin, dan 65 persen responden menyatakan bersedia menerima vaksin Covid-19 jika disediakan Pemerintah.

Survei ini dilakukan terhadap 115.000 responden dari 34 provinsi pada 19 hingga 30 September 2020.

Padahal untuk mempercepat penurunan pandemi Covid-19, setidaknya diperlukan cakupan imunisasi sebesar 70 persen agar ‘herd immunity’ atau kekebalan komunitas segera tercapai dalam kurun waktu kurang dari satu tahun.

Inisiator LaporCovid-19, koalisi warga untuk berbagi informasi Covid-19, Ahmad Arif, mengatakan, masifnya hoaks akan memengaruhi persepsi warga terhadap vaksin dan pada akhirnya akan berdampak pada keberhasilan cakupan vaksinasi Covid-19.

Namun, menurut Arif, masifnya hoaks vaksin Covid-19 bukan hanya dipicu oleh gerakan anti-vaksin yang berlatar agama atau anti-sains seperti sebelum pandemi. Melainkan juga karena buruknya komunikasi pemerintah terkait vaksin Covid-19.

Sejak awal, kata dia, komunikasi kebijakan pemerintah tentang vaksin membingungkan dan akhirnya menimbulkan resistensi di masyarakat.

Seperti pengadaan vaksin Sinovac yang dilakukan sebelum hasil uji klinis Fase 3 keluar.

Selain itu, di saat target vaksinasi tahap awal pada tenaga kesehatan belum rampung, pemerintah sudah memunculkan wacana vaksin mandiri.

“Pemilihan influencer artis saat penyuntikan vaksin pertama, malah jadi blunder,” kata Arif kepada Anadolu Agency, Minggu.

Arif menjelaskan pemerintah harus mengubah strategi komunikasi soal vaksin agar kepercayaan masyarakat meningkat.

Respons pemerintah.....

sumber : Anadolu
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement