Selasa 26 Jan 2021 05:32 WIB

Sejumlah Hambatan Kasus FPI Dibawa ke ICC Menurut Komnas HAM

Komnas menyebut sejumlah hambatan yang membuat ICC tak bisa menanggani kasus FPI.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bayu Hermawan
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik (kiri)
Foto:

Menurut Komnas HAM RI, langkah disinformasi ini disinyalir bersifat sistematis untuk membangun opini dan mendesakkan pada kesimpulan tertentu yakni menggolongkan kasus ini pada pelanggaran HAM yang berat. Padahal, berdasarkan data dan bukti yang dikumpulkan oleh Komnas HAM RI tidak ditemukan unsur-unsur pelanggaran HAM yang berat sebagaimana dinyatakan Statuta Roma maupun Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Taufan pun merincikan, unsur-unsur untuk disebut pelanggaran HAM yang berat (the most serious crimes), antara lain adanya desain operasi yang direncanakan secara sistematis berdasarkan kebijakan institusi atau negara. Dalam kasus ini, Komnas HAM RI tidak menemukan bukti ke arah itu, baik dari data yang dikumpulkan maupun berdasarkan kronologi peristiwa yang tim penyelidikan Komnas HAM RI temukan. 

"Argumen sebaliknya dari TP3 yang mengaitkan kasus ini ke Presiden Jokowi tentu merupakan penyimpulan yang terlalu jauh," ucap Taufan.

Namun, bila yang dimaksudkan adalah meminta tanggung jawab Presiden untuk memastikan penegakan hukum atas peristiwa ini, Komnas HAM tentu saja bersepakat. Bahkan atas dasar itulah Komnas HAM melaporkan kasus ini secara langsung kepada Presiden Joko Widodo agar Presiden memastikan rekomendasi Komnas HAM ditindaklanjuti oleh penegak hukum. 

Selain itu, mekanisme pelaporan juga disebutkan di dalam pasal 97 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 yang menjelaskan bahwa salah satu pihak yang perlu mendapatkan laporan dari Komnas HAM atas perkara-perkara yang ditanganinya adalah kepada Presiden.  Walaupun, langkah melaporkan temuan dan rekomendasi Komnas HAM RI kepada Presiden Joko Widodo, dimana mekanisme itu berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 1999, ini malah dianggap sebagai pelanggaran etik oleh pihak tertentu.

Adapun, unsur lain untuk disebut sebagai pelanggaran HAM yang berat adalah adanya "pola serangan yang berulang sehingga dampak korbannya juga meluas". Unsur tersebut juga tidak ditemukan. 

"Kesimpulan Komnas HAM RI berdasarkan data yang akurat tentang adanya tindakan pidana unlawfull killing yakni pembunuhan yang bertentangan dengan hukum, yang disebut kejahatan serius, dapat kami pertanggungjawabkan baik dari dukungan data dan bukti maupun konsepsi hukum hak asasi, baik yang berlaku secara nasional maupun internasional," kata Taufan.

"Intinya, kesimpulan apakah kasus ini adalah pelanggaran HAM yang berat atau bukan, tentu saja tidak bisa didasarkan kepada asumsi apalagi dengan motif politik tertentu, tetapi harus berdasarkan data, fakta, bukti dan informasi yang diperoleh dan diuji secara mendalam berdasarkan konsepsi dan instrumen hak asasi manusia yang berlaku di tingkat nasional mau pun standar internasional," ujarnya melanjutkan.

Dengan tidak terpenuhinya berbagai syarat-syarat substansial tersebut, sambung Taufan, maka penting bagi Komnas HAM RI untuk meluruskan hal ini kepada masyarakat luas, agar masyarakat benar-benar memahami konteks dan substansinya serta tidak membangun asumsi yang tak berdasar. Komnas HAM RI mengimbau kepada masyarakat, TP3, para ahli hukum dan tokoh masyarakat untuk bersama-sama memastikan proses peradilan pidana sebagaimana rekomendasi Komnas HAM RI dan sudah disetujui Presiden maupun calon Kapolri terpilih untuk benar-benar dilaksanakan dengan transparan dan jujur.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement