Sabtu 16 Jan 2021 06:39 WIB

Ini Teknis Pelaksanaan Hukuman Kebiri Kimia

Kebiri kimia dilakukan dengan memberi zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain.

Tindakan Kebiri Kimia (ilustrasi)
Foto:

IDI, berdasar fatwa Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Kebiri Kimia serta kode etik kedokteran Indonesia, sebelumnya menyampaikan agar pelaksanaan hukuman kebiri kimia tidak melibatkan dokter sebagai eksekutor.

Selain itu, penolakan IDI juga atas alasan dasar keilmuan dan bukti ilmiah kebiri kimia tidak menjamin hilang atau berkurangnya hasrat seksual dan potensi perilaku kekerasan seksual pelaku.

Tampaknya, masih perlu dicari jalan tengah antara peraturan hukum dan kode etik dalam eksekusi kebiri kimia, misalnya, dengan melatih petugas untuk melakukan kebiri kimia.

Selain itu, sumber daya untuk melakukan hukuman tersebut dinilai mahal karena selain untuk kebiri kimia, diperlukan anggaran untuk rehabilitasi psikiatrik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi medis untuk terpidana kebiri kimia.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebut, dalam praktik hukuman kebiri di negara lain, terbukti persiapan dan pembangunan sistem perawatan kebiri kimia yang tepat membutuhkan banyak sumber daya dan mahal. Sementara, PP tersebut tidak merinci dan hanya menyebut anggaran untuk pelaksanaan kebiri kimia dari APBN, APBD dan sumber lain.

Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitulu mengatakan, pemerintah melalui kementerian-kementerian terkait tidak pernah memberikan penjelasan mengenai gambaran pendanaan yang harus disediakan untuk menerapkan sistem yang mahal itu.

Menurut dia, adanya PP 70/2020 seolah negara menyatakan diri siap dengan beban anggaran baru yang digunakan untuk penghukuman pelaku. Sementara di sisi lain, korban disebutnya masih menjerit harus menanggung biaya perlindungan dan pemulihannya sendiri. Anggaran dari pemulihan dan perlindungan korban seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terus dipangkas.

Senada, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) pun menilai apabila terlalu berfokus pada pelaku, akhirnya pemulihan korban justru akan terlupakan. Padahal pemulihan korban merupakan hal yang lebih penting.

Advokat dan Spesialis Kebijakan Publik PKBI Riska Carolina berpendapat alih-alih membalas kekerasan dengan kekerasan, akan lebih baik apabila negara menunjukkan keseriusannya dalam mengatasi kekerasan seksual dengan lebih komprehensif, seperti RUU penghapusan kekerasan seksual. Walaupun ia mengakui pembahasan hingga pengesahan RUU tersebut masih harus melalui jalan yang panjang.

Terlepas dari perdebatan yang masih menyelubungi pelaksanaan hukuman kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak itu, masih ada waktu sekitar 10 tahun lagi untuk mengetahui bagaimana akhir cerita dari seorang pesakitan di Mojokerto.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement