REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang mempersoalkan periode tugas hakim lembaga itu tidak diterima. Dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK yang disiarkan secara daring di Jakarta, Kamis (14/1), Hakim Konstitusi Arief Hidayat menuturkan para pemohon mengusulkan untuk dilakukan uji kelayakan dan kesehatan jasmani setiap lima tahun sekali tanpa memberikan argumentasi perlunya hal tersebut.
"Para pemohon pada pokoknya hanya menjelaskan bahwa para pemohon adalah advokat dan berpotensi menjadi hakim konstitusi seperti halnya mantan hakim konstitusi Hamdan Zoelva dan Patrialis Akbar," ujar Arief Hidayat.
Selain itu, terdapat kerancuan dan pengulangan dalam tuntutan para pemohon, sehingga pemaknaan konstitusional yang diinginkan oleh para pemohon sulit dipahami oleh Mahkamah Konstitusi. Kerancuan itu adalah pemohon menginginkan dilakukan uji kelayakan serta pengawasan kesehatan jasmani serta rohani setiap lima tahun bersamaan dengan meminta pemaknaan terhadap permintaan itu.
Akibat ketidaktersambungan, kerancuan dan pengulangan itu, permohonan yang diajukan menjadi kabur dan tidak dipertimbangkan lebih lanjut. Adapun, permohonan itu diajukan oleh advokat bernama Suhardi dan Linda Yendrawati Puspa yang mengaku ingin menjadi hakim konstitusi, tetapi terhalang norma dalam Pasal 87 UU MK.
Pasal tersebut selengkapnya berbunyi, "Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat undang-undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut undang-undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai 70 tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun".