Senin 11 Jan 2021 00:53 WIB

Tragedi SJ182, Industri Penerbangan Kembali ke Tepi Jurang

Jika ada larangan mendarat di eropa maka penerbangan Indonesia kembali terpuruk.

Petugas penyelamat dan Disaster Victim Identification (DVI) Indonesia memeriksa bagian tubuh yang diduga ditemukan selama operasi pencarian puing-puing penerbangan Sriwijaya Air SJ182, di pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta, Indonesia, 10 Januari 2021. Kontak dengan penerbangan Sriwijaya Air SJ182 hilang pada 09 Januari 2021 sesaat setelah pesawat lepas landas dari Bandara Internasional Jakarta dalam perjalanan ke Pontianak di provinsi Kalimantan Barat.
Foto:

Oleh : Nidia Zuraya*

Tiket yang dijual murah ini membuat maskapai-maskapai yang beroperasi di dalam negeri dinilai tak memiliki kemampuan finasial yang cukup dalam melakukan perawatan berkala armada pesawatnya, sehingga faktor keselamatan penerbangan pun diabaikan.

Dalam komponen biaya jasa angkutan udara, biaya pengadaan bahan bakar dan pelumas mengambil porsi terbesar, yakni mencapai 35 persen. Urutan kedua ditempati oleh komponen biaya pemeliharaan armada pesawat sebesar 18 persen. Selanjutnya, biaya penyusutan atau sewa pesawat (14,46 persen), kebandarudaraan (10 persen), pemasaran/penjualan (4,5 persen), organisasi (5 persen), asuransi (6,04 persen), serta gaji kru dan teknisi (7 persen).

Namun, langkah pemerintah untuk menghapus kebijakan tiket murah hanya bertahan setahun. Bak buah simalakama, kebijakan tersebut justru membuat bisnis maskapai nasional terpuruk. Tak ada lagi tiket murah berdampak pada sepinya penumpang. Akibatnya, banyak maskapai berbiaya murah yang semakin terjepit.

Kondisi tersebut direspons oleh pemerintah dengan menerbitkan regulasi baru untuk menurunkan tiket pesawat. Aturan itu tercantum dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 72 Tahun 2019. 

Regulasi baru mengenai ketentuan harga jual tiket pesawat ini membawa angin segar bagi industri penerbangan sipil nasional. Perlahan, bisnis penerbangan mulai bangkit kembali. Sayangnya, hal tersebut tak berlangsung lama.

Kemunculan virus corona penyebab penyakit Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) membuat bisnis maskapai kembali terpuruk, bahkan bisa dibilang babak belur. Banyak yang beranggapan tahun 2020 lalu merupakan tahun kematian bagi industri penerbangan.  

Asosiasi Transportasi Udara Internasional atau International Air Transport Association (IATA) mencatat, jumlah lalu lintas perjalanan global melalui jalur udara anjlok 95 persen pada April 2020 jika dibandingkan April 2019. IATA juga memprediksi krisis industri penerbangan baru bisa pulih dari dampak Covid-19 hingga 2024.

Sementara, Indonesia National Air Carrier Association (INACA) menyebut, dari Januari-April 2020 di empat bandara besar di Indonesia, yakni di Jakarta, Bali, Medan, dan Surabaya, terjadi penurunan penumpang internasional sebanyak 45 persen. Sementara, untuk penumpang domestik, penurunan terjadi sebanyak 44 persen dari Januari-April 2020.

Kerugian yang dialami maskapai penerbangan dari empat bandara besar tersebut, jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018 mencapai sekitar 812 juta dolar AS.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement