REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Ali Mansur, Ronggo Astungkoro
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan kasus tewasnya laskar Front Pembela Islam (FPI), sebagai pelanggaran terhadap HAM. Dalam rekomendasi dari hasil pengungkapan peristiwa yang terjadi di jalan tol Jakarta-Cikampek (Japek) Km 50, tersebut, Komnas HAM meminta kepada pemerintah, dan aparat hukum, untuk melanjutkan kasus tersebut ke proses hukum sampai ke tingkat pengadilan pidana.
"Peristiwa tewasnya laskar FPI, merupakan kategori dari pelanggaran HAM,” begitu kesimpulan Komnas HAM yang dibacakan oleh Komisioner Mohammad Choirul Anam, di Jakarta, pada Jumat (8/1).
Anam, sekaligus ketua tim penyelidikan independen terkait meninggalnya enam anggota laskar FPI, pada Senin (7/12) dini hari itu. “Komnas HAM merekomendasikan kasus ini, harus dilanjutkan ke penegakan hukum, dengan mekanisme pengadilan pidana guna mendapatkan kebenaran materiil lebih lengkap, dan penegakan keadilan,” begitu sambung Anam.
Anam menerangkan, meskipun insiden tewasnya anggota laskar FPI tersebut sebagai pelanggaran HAM, dari enam korban yang ditembak mati dengan peluru tajam pihak kepolisian, tak semuanya masuk dalam klasifikasi meninggal dunia akibat kejahatan dan pelanggaran HAM. Karena, dari hasil pengungkapan fakta kronologis peristiwa, Anam mengungkapkan, ada dua anggota laskar FPI yang meninggal dunia, tetapi bukan dari praktik pelanggaran HAM.
Dua korban tersebut, yakni Faiz Ahmad Sukur (22 tahun), dan Andi Oktiawan (33). Dikatakan Anam, dua anggota pengawal Imam Besar FPI Habib Rizieq tersebut, disebut tewas akibat peluru tajam oleh anggota kepolisian karena melakukan perlawanan, dan pertahanan saat menghalang-halangi petugas dalam pengintaian Habib Rizieq.
Penghalang-halangan tersebut, bahkan dikatakan membuat terjadinya aksi saling tembak dengan anggota kepolisian pengintai. Penembakan mati terhadap dua laskar tersebut, dikatakan Anam terjadi di tol Japek Km 49. Persisnya di Jalan Internasional Karawang Barat.
“Substansi konteksnya (terhadap dua korban), merupakan peristiwa saling serempet antarmobil, dan saling serang antara petugas dan laskar FPI. Bahkan menggunakan senjata api,” kata Anam.
Menurut Anam, ada dugaan dua barang bukti, yakni berupa pistol jenis revolver, tapi nonpabrikan yang bergagang putih dan cokelat, digunakan dalam insiden saling serang tersebut. Anam menerangkan, dari kesimpulan dua laskar yang tewas tersebut, setelah mencocokkan barang bukti, berupa tujuh proyektil peluru.
Lima dari proyektil tersebut, menurut uji balistik yang Komnas lakukan bersama ahli dari Pindad, dan Kepolisian, dikatakan dua di antaranya merupakan proyektil dari jenis senjata rakitan. “Tiga proyektil lainnya, tidak dapat diindetifikasi karena adanya deformasi,” kata Anam.
Sedangkan, dua proyektil sisanya, diyakini bukan bagian dari peristiwa. Dikatakan Anam, dua laskar yang tewas tersebut, satu meninggal dunia dalam kondisi di dalam mobil, dan satunya lagi terkabar di badan jalan.
“Terlihat luka-luka yang merupakan akibat dari tembakan petugas,” terang Anam.
Sedangkan terhadap empat anggota laskar FPI lainnya, diterangkan Anam tewas terbunuh dari tembakan petugas saat berada dalam penguasaan kepolisian di dalam mobil yang semula akan dibawa ke markas. Menurut Anam, empat laskar tersebut, dieksekusi di tol Japek Km 50. yakni Ahmad Sofyan alias Ambon (26), Muhammad Reza (20), dan Luthfi Hakim (25), serta Muhammad Suci Khadavi (21).
Anam melanjutkan, dari pengungkapan peristiwa, terhadap empat korban tersebut, semula dalam kondisi hidup. Menurut Anam, dari salah satu rekaman CCTV di rest area Km 50, Komnas membuktikan anggota kepolisian yang sempat menangkap keempatnya.
“Terlihat petugas melakukan kekerasan terhadap empat yang masih hidup, dengan memerintahkan jongkok, dan tiarap,” kata Anam.
Selanjutnya, dikatakan, empat yang hidup tersebut diminta untuk masuk ke dalam mobil petugas lewat pintu belakang, tanpa diborgol.
“Bahwa selanjutnya, anggota laskar tersebut, kemudian ditembak mati di dalam mobil petugas saat dalam perjalanan dari Km 50, ke atas menuju Polda Metro Jaya,” kata Anam.
Anam menambahkan, dari permintaan keterangan saat penyelidikan, ada tiga anggota kepolisian yang membawa empat anggota laskar tersebut menuju Polda Metro Jaya. “Dua polisi di antaranya sebagai eksekutor,” kata Anam.
Terungkap dalam permintaan keterangan tersebut, kata Anam, para eksekutor mengakui, penembakan dilakukan karena adanya perlawanan.
“Dengan informasi hanya dari petugas kepolisian tersebut, eksekusi semata bahwa terlebih dahulu telah terjadi upaya melawan petugas, yang mengancam keselamatan diri sehingga diambil tindakan yang diistilahkan tegas dan terukur,” kata Anam.
Akan tetapi, Anam menjelaskan, penyelidikan mengkategorikan pembunuhan terhadap empat laskar FPI oleh kepolisian tersebut, sebagai kejahatan HAM.
“Terhadap empat orang yang masih hidup, dalam penguasaan petugas resmi negara (kepolisian), yang kemudian juga ditemukan tewas. Maka peristiwa tersebut, merupakan bentuk pelanggaran HAM,” kata Anam.
Eksekusi mati paksa dengan peluru tajam di dalam mobil anggota kepolisian tersebut, dikatakan Anam sebagai tindakan penegakan hukum yang tak seimbang, dan berlebih-lebihan. “Ada indikasi unlawfull killing terhadap keempat anggota laskar FPI tersebut,” kata Anam.
Dalam hasil pengungkapan Komnas HAM tersebut, dikatakan juga total tembakan peluru tajam dari kepolisian terhadap enam anggota laskar FPI sebanyak 18 luka. Masing-masing rincian, terdapat tiga lubang peluru yang bersarang di jenazah.
Terhadap luka-luka yang selama ini dialami oleh korban, Anam menerangkan, Komnas HAM tak menemukan adanya bentuk penyiksaan. “Yang dikatakan luka-luka terjadi akibat dibakar, dan bentuk penyiksaan lainnya, dari hasil pemeriksaan kami tidak menemukan,” kata Anam.
Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Polisi Andi Rian enggan menanggapi terlalu hasil investigasi Komnas HAM terkait kematian enam Laskar Front Pembela Islam (FPI) di KM 50 Jalan Tol Jakarta-Cikampek. Andi Rian hanya berharap Komnas HAM bisa menyerahkan temuan tersebut untuk melengkapi alat bukti yang ada.
Menurut Andi Rian, temuan dari Komnas HAM tersebut bisa melengkapi alat bukti yang selama ini dikumpulkan penyidik Bareskrim Polri. Tentunya dengan banyaknya alat bukti dapat mengungkap kasus berdarah yang melibatkan petugas Polri dari Polda Metro Jaya dengan Laskar FPI yang tengah mengawal Habib Rizieq Shihab (HRS) tersebut.
"Yang jelas kalau temuan itu diberikan ke penyidik bisa melengkapi alat bukti yang sebelumnya sudah ada," ujar Andi Rian saat dikonfirmasi, Jumat (8/1).
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai kesimpulan Komnas HAM soal kasus bentrok anggota FPI dengan Polri di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek sudah tepat. Kontras meminta presiden untuk lekas memerintahkan Kapolri untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.
"Presiden harus segera memerintahkan Kapolri untuk melakukan penyidikan agar aparat kepolisian yang bertanggung jawab dalam kasus ini dapat diadili melalui mekanisme peradilan pidana," ujar Staf Divisi Hukum Kontras, Andi Muhammad Rezaldi, kepada Republika, Jumat (8/1).
Andi mengatakan, pihaknya berpendapat kesimpulan yang disampaikan oleh Komnas HAM yang menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian dalam kasus itu sudah tepat. Kepolisian disebut melakukan pelanggaran HAM berupa tindakan unlawful killing atau pembunuhan yang terjadi di luar hukum.
"Sebab penggunaan senjata api tersebut diduga tidak memperhatikan prinsip nesesitas, legalitas dan proporsionalitas sebagaimana diatur dalam Perkapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan," kata Andi.