Kamis 07 Jan 2021 17:07 WIB

Empat Catatan dari Penyerapan Dana PEN yang Belum Maksimal

Sektor kesehatan dan insentif usaha paling tak optimal penyerapannya.

Orang-orang yang memakai masker pelindung wajah berjalan di trotoar kawasan bisnis di Jakarta. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk memperbaiki ekonomi saat pandemi, anggaran dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2020 terserap 83.4 persen dari pagu Rp 695 triliun.
Foto: EPA-EFE/MAST IRHAM
Orang-orang yang memakai masker pelindung wajah berjalan di trotoar kawasan bisnis di Jakarta. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk memperbaiki ekonomi saat pandemi, anggaran dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2020 terserap 83.4 persen dari pagu Rp 695 triliun.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adinda Pryanka, Antara

Aanggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2020 hanya terserap Rp 579,78 triliun atau 83,4 persen dari pagu Rp 695,2 triliun. Setidaknya dalam catatan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) ada empat faktor yang mempengaruhi anggarapan PEN yang tidak bisa terserap 100 persen.

Baca Juga

Pengamat ekonomi, Bhima Yudhistira, mengungkapkan empat faktor yang mempengaruhi serapan dana PEN.  “Serapan dana PEN yang rendah itu ada banyak faktornya. Kalau kita lihat di 2020 memang kurang memuaskan karena serapannya belum mencapai 90 persen,” katanya, Kamis (7/1).

Faktor pertama adalah karena anggaran PEN juga dibiayai oleh penerimaan perpajakan yang ternyata realisasinya terus mengalami penurunan, bahkan hingga akhir 31 Desember 2020 terkontraksi baik dari sisi pajak maupun kepabeanan dan cukai. Penerimaan pajak sepanjang 2020 terkontraksi hingga 19,7 persen (yoy) yaitu Rp 1.070 triliun atau 89,3 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 72/2020 Rp 1.198,8 triliun.

Sedangkan kepabeanan dan cukai terealisasi Rp 212,8 triliun atau 103,5 persen dari target Rp 205,7 triliun dan turut terkontraksi 0,3 persen (yoy) dibanding periode sama 2019 yakni Rp 213,5 triliun. “Terjadi pelebaran defisit juga sehingga tidak mungkin penyaluran PEN 100 persen. Dikhawatirkan defisit lebih melebar dan konsekuensi ke tambahan pembiayaan utang,” jelasnya.

Faktor kedua adalah adanya permasalahan di birokrasi pelaksana secara teknis. Yaitu kekhawatiran terhadap adanya malpraktik administrasi karena terjadi banyak penyesuaian di awal.

“Mereka merasa sangat mudah tergelincir pada praktik korupsi apalagi melibatkan dana yang relatif besar sehingga ada beberapa pelaksana teknis yang ketakutan dan memperlambat pencairan PEN,” katanya.

Faktor ketiga turut berkaitan dengan pelaksana teknis yakni mereka masih melihat pencairan anggaran seperti kondisi normal yaitu ditumpuk di akhir sehingga pengajuan DIPA-nya lambat. “Khususnya ini terjadi di Kementerian Kesehatan. Ini yang membuat dana tidak maksimal,” ujarnya.

Faktor keempat adalah adanya masalah pada data penerima bantuan sosial. Yaitu mengenai verifikasi data yang membutuhkan waktu cukup lama khususnya terhadap penerima program baru seperti subsidi gaji.

Sebagai informasi, realisasi PEN Rp 579,78 triliun meliputi bidang kesehatan Rp 63,51 triliun dari pagu Rp 99,5 triliun, perlindungan sosial Rp 220,39 triliun dari pagu Rp 230,21 triliun, serta sektoral K/L dan Pemda Rp 66,59 triliun dari pagu Rp 67,86 triliun.

Kemudian juga UMKM Rp 112,44 triliun dari pagu Rp 116,31 triliun, pembiayaan korporasi Rp 60,73 triliun dari pagu Rp 60,73 triliun, serta insentif usaha Rp 56,12 triliun dari pagu Rp 120,61 triliun.

Penyerapan dana PEN juga mendapat perhatian Center of Reform on Economics (CORE). Masalah pada kluster kesehatan dan insentif usaha menjadi dua faktor utama serapan anggaran tak maksimal.

“Penyaluran PEN yang hanya menyentuh angka 83,4 persen karena relatif lebih rendahnya realisasi dana PEN untuk kesehatan dan insentif usaha,” kata Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet.

Dia menjelaskan bidang kesehatan yang hanya terealisasi Rp 63,51 triliun dari pagu Rp 99,5 triliun disebabkan oleh beragam permasalahan administrasi koordinasi antara lembaga pemerintah. “Di sisi lain kalau kita lihat proses kepemimpinan Menteri Kesehatan menjadi tidak optimal karena tidak ada strategi khusus dalam mendorong realisasi ini,” tegasnya.

Selanjutnya untuk insentif usaha yang hanya terealisasi Rp 56,12 triliun dari pagu Rp 120,61 triliun dilatarbelakangi oleh adanya sistem aturan dan persyaratan yang berubah-ubah. Lalu masih ditambah kurang masifnya sosialisasi mengenai insentif pajak.

“Untuk insentif pajak evaluasi utamanya aturan sistem insentif pajak yang berubah-ubah, sosialisasi yang kurang masif dan momentum yang kurang tepat,” katanya.

Ia menuturkan target penerima insentif pajak sangat banyak seperti pada insentif pengurangan angsuran PPh pasal 25 yaitu sebanyak 1.031 Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) sehingga sosialisasi yang masif menjadi kunci.

Sementara itu, ia mencontohkan sistem persyaratan yang berubah-ubah terjadi seperti dalam aturan PMK Nomor 44 yaitu calon penerima insentif pajak UMKM diharuskan menyerahkan surat keterangan namun pada PMK Nomor 86 aturan tersebut berubah. “Untuk UMKM khususnya usaha mikro dan kecil prasyarat yang berubah-ubah akan membingungkan UMKM,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement