REPUBLIKA.CO.ID, oleh Kamran Dikarma, Alkhaledi Kurnialam, Lintar Satria
Pesawat Qatar Airways yang membawa Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani mendarat di Bandara Pangeran Abdul Majeed bin Abdulaziz di AlUla, Arab Saudi, pada Selasa (5/1) siang waktu setempat. Dia hendak menghadiri KTT Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) ke-41 yang digelar di kota tersebut.
Kedatangan Sheikh Tamim disambut langsung oleh Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS). Sesaat setelah turun dari pesawat, Sheikh Tamim dan Pangeran MBS berpelukan. Itu menjadi pemandangan yang menandai berakhirnya krisis Teluk.
Setelah memblokade Qatar selama 3,5 tahun, Saudi memutuskan mengakhiri kebijakan tersebut. Langkah itu diikuti oleh tiga negara lainnya, yakni Mesir, Bahrain, dan Uni Emirat Arab (UEA).
"Kebijakan Kerajaan Arab Saudi, di bawah kepemimpinan Penjaga Dua Masjid Suci Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud, didasarkan pada pendekatan solid yang menargetkan pencapaian kepentingan utama negara-negara anggota GCC dan negara-negara Arab, selain memanfaatkan seluruh upaya untuk kebaikan rakyat mereka serta mewujudkan keamanan dan stabilitas mereka," kata Pangeran MBS dalam sebuah pernyataan yang dirilis Saudi Press Agency dikutip Reuters pada Senin (4/1).
Tak lama setelah Saudi mengumumkan pencabutan blokade darat, laut, dan udara, Sheikh Tamim mengonfirmasi kehadirannya di KTT GCC ke-41. “Keputusan pada malam KTT GCC ke-41 ini merupakan cerminan dari upaya tulus yang dilakukan untuk memastikan keberhasilan KTT besok di semua bidang meskipun keadaan luar biasa yang diciptakan oleh pandemi,” kata Sekretaris Jenderal GCC Nayef Falah al-Hajraf, dikutip laman Al Arabiya.
“Pengumuman hari ini sekali lagi membuktikan bahwa GCC mewujudkan kemitraan yang mengakar yang secara konsisten mengatasi tantangan sambil memajukan kepentingan masyarakat GCC berkat kepemimpinan dan kebijaksanaan para pemimpinnya," ujar al-Hajraf, menambahkan.
Dalam KTT nanti diharapkan ada upacara penandatanganan kesepakatan yang menandai berakhirnya keretakan antara Saudi dkk dan Qatar.
Krisis Teluk telah berlangsung sejak Juni 2017. Hal itu bermula saat Saudi, UEA, Bahrain, dan Mesir menuding Qatar mendukung kegiatan terorisme dan ekstremisme di kawasan. Doha dengan tegas membantah tuduhan tersebut.
Kendati telah menyanggah, Saudi, Mesir, Bahrain, dan UEA tetap memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar. Keempat negara itu juga memboikot dan memblokade seluruh akses ke Doha. Saudi serta sekutunya kemudian mengajukan 12 tuntutan kepada Qatar.
Tuntutan itu antara lain meminta Qatar menurunkan hubungan diplomatik dengan Iran dan menutup media Aljazirah. Doha juga diminta menutup pangkalan militer Turki di negaranya. Jika menginginkan boikot dan blokade dicabut, Qatar harus memenuhi semua tuntutan tersebut.
Namun, Qatar menolak melakukannya karena menganggap semua tuntutan tak masuk akal. Akibat sikap tersebut, Qatar dikucilkan.
Pemerintah Mesir pun dilaporkan segera membuka wilayah udaranya dengan Qatar. Kendati demikian, pembukaan jalur tersebut masih akan bergantung pada pemenuhan persyaratan Mesir untuk Qatar.
Menurut sumber Al Arabiya, Mesir masih memiliki sejumlah keraguan terkait hubungan Qatar dengan Ikhwanul Muslimin serta pemberitaan media Qatar terhadap Mesir selama ini. Salah satu tuntutan utama Mesir adalah agar Qatar tidak ikut campur dalam urusan Mesir.
Meski belum ada keputusan Mesir untuk Qatar, pemerintah Mesir menyebut tidak akan bertindak sebagai penghalang dalam upaya rekonsiliasi antara anggota GCC. Hal ini dibuktikan dengan datangnya Menteri luar negeri Mesir Sameh Shoukry ke Arab Saudi untuk mengambil bagian dalam KTT Dewan GCC ke-41.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyambut baik pemulihan hubungan antara Arab Saudi dan Qatar. Hal itu merupakan jalan pembuka bagi penyelesaian krisis Teluk yang telah berlangsung selama 3,5 tahun.
"Resolusi perselisihan tiga tahun yang lebih luas antara Kuartet (Saudi, Mesir, Bahrain, Uni Emirat Arab) dan Qatar adalah untuk kepentingan semua anggota GCC (Dewan Kerjasama Teluk) dan juga kepentingan AS," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS dalam sebuah pernyataan kepada Anadolu Agency pada Senin (4/1).
Sejak krisis Teluk pecah pada pertengahan 2017, AS berupaya memediasi pihak-pihak terkait. Washington cukup memberi perhatian karena retaknya relasi antara Saudi dkk dan Qatar dapat melemahkan upayanya melawan pengaruh serta peran Iran di kawasan.
Kementerian Luar Negeri Turki juga meyambut baik kemungkinan berakhirnya krisis di Arab Teluk.
"Langkah ini merupakan langkah yang sangat penting dalam upaya menyelesaikan konflik yang terjadi sejak Juni 2017," kata Kementerian seperti dikutip Daily Sabah, Selasa (5/1).
"Turki mengharapkan solusi permanan dan sanksi-sanksi yang lain juga dicabut," tambah Kementerian Luar Negeri Turki.