Rabu 30 Dec 2020 14:55 WIB

'Oknum Terlibat Terorisme tak Bisa Jadi Dasar Bubarkan FPI'

Anggota DPR mempertanyakan dasar pemerintah melarang FPI apakah sesuai UU Ormas.

Aparat kepolisian mengamankan banner HRS saat unjuk rasa 1812 Front Pembela Islam (FPI) di sekitar Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat, Jumat (18/12). Polisi memukul mundur massa yang menolak dibubarkan guna menghindari kerumunan. Sebanyak 5.000 personel gabungan dari unsur TNI-Polri dan Pemprov DKI Jakarta disiapkan untuk mengawal dan mengamankan unjuk rasa 1812 di kawasan Istana Negara.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Aparat kepolisian mengamankan banner HRS saat unjuk rasa 1812 Front Pembela Islam (FPI) di sekitar Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat, Jumat (18/12). Polisi memukul mundur massa yang menolak dibubarkan guna menghindari kerumunan. Sebanyak 5.000 personel gabungan dari unsur TNI-Polri dan Pemprov DKI Jakarta disiapkan untuk mengawal dan mengamankan unjuk rasa 1812 di kawasan Istana Negara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR, Habiburokhman, mempertanyakan kebijakan pemerintah yang melarang aktivitas Front Pembela Islam (FPI) dan akan menghentikan setiap kegiatan organisasi itu, apakah sudah sesuai dengan mekanisme UU Nomor 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Ia pun menyoroti dasar pelarangan lantaran FPI terlibat dalam aktivitas terorisme.

"Kami mempertanyakan apakah pembubaran FPI itu sudah dilakukan sesuai mekanisme UU Ormas, khususnya pasal 61 yang harus melalui proses peringatan tertulis, penghentian kegiatan dan pencabutan status badan hukum," kata Habiburokhman, di Jakarta, Rabu (30/12).

Baca Juga

Habiburokhman mempertanyakan apakah kebijakan itu sudah dikonfirmasi secara hukum terhadap hal-hal negatif yang dituduhkan kepada FPI. Menurut dia, terkait dugaan keterlibatan anggota FPI dalam tindak pidana terorisme, apakah sudah dipastikan bahwa tindakan itu terjadi mengatasnamakan FPI.

"Sebab jika hanya oknum yang melakukannya, tidak bisa serta-merta dijadikan legitimasi pembubaran FPI. Kita bisa mengacu pada kasus kader partai politik yang ditangkap karena korupsi, tidak bisa dikatakan partainya yang melakukan korupsi dan harus dibubarkan," ujarnya.

Politisi Partai Gerindra itu sepakat dengan semangat pemerintah agar jangan ada organisasi yang dijadikan wadah bangkitnya radikalisme dan intoleransi. Namun dia menilai setiap keputusan hukum harus dilakukan dengan memenuhi ketentuan hukum yang berlaku.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menyatakan pemerintah menghentikan kegiatan dan aktivitas FPI dalam bentuk apa pun.

"Pemerintah melarang aktivitas FPI dan akan menghentikan setiap kegiatan yang akan dilakukan karena FPI tak lagi mempunyai legal standing baik sebagai ormas maupun sebagai organisasi biasa," kata Mahfud saat jumpa pers di Kantor Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Jakarta, Rabu.

Setidaknya ada tujuh pertimbangan yang terdapat di dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI yang dibacakan pemerintah hari ini. Salah satunya, karena ada 35 orang yang tergabung atau pernah tergabung di FPI tersangkut kasus tindak pidana terorisme.

"Berdasarkan data sebanyak 35 orang terlibat tindak pidana terorisme, dan 29 orang di antaranya telah dijatuhi pidana. Di samping itu sejumlah 206 orang terlibat berbagai tindak pidana umum lainnya dan 100 di antaranya telah dijatuhi pidana," ujar Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, saat membacakan SKB itu pada konferensi pers di Jakarta, Rabu (30/12).

Pertimbangan itu ada pada poin e SKB tersebut, yang menyebut ada pengurus dan atau anggota FPI maupun yang pernah bergabung dengan FPI pernah terlibat tindak pidana terorsisme.

 

photo
Habib Rizieq Shihab - (republika)

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement