Rabu 30 Dec 2020 14:30 WIB

Alasan FPI Terlibat Terorisme dan Dianggap Bubar Sejak 2019

Ada tujuh pertimbangan pemerintah dalam SKB larangan kegiatan FPI.

Sejumlah laskar melakukan pengamanan saat menunggu kedatangan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab di kawasan Petamburan, Jakarta, Selasa (10/11). Habib Rizieq Shihab kembali ke tanah air setelah berada di Arab Saudi selama tiga setengah tahun.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah laskar melakukan pengamanan saat menunggu kedatangan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab di kawasan Petamburan, Jakarta, Selasa (10/11). Habib Rizieq Shihab kembali ke tanah air setelah berada di Arab Saudi selama tiga setengah tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Nawir Arsyad Akbar, Ali Mansur

Setidaknya ada tujuh pertimbangan yang terdapat di dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI yang dibacakan pemerintah hari ini. Salah satunya, karena ada 35 orang yang tergabung atau pernah tergabung di FPI tersangkut kasus tindak pidana terorisme.

Baca Juga

"Berdasarkan data sebanyak 35 orang terlibat tindak pidana terorisme, dan 29 orang di antaranya telah dijatuhi pidana. Di samping itu sejumlah 206 orang terlibat berbagai tindak pidana umum lainnya dan 100 di antaranya telah dijatuhi pidana," ujar Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, saat membacakan SKB itu pada konferensi pers di Jakarta, Rabu (30/12).

Pertimbangan itu ada pada poin e SKB tersebut, yang menyebut ada pengurus dan atau anggota FPI maupun yang pernah bergabung dengan FPI pernah terlibat tindak pidana terorsisme. Kemudian pada poin f, FPI kerap kali melanggar ketentuan hukum dengan melakukan razia di tengah-tengah masyarakat.

"Pengurus dan atau anggota FPI kerap kali melakukan berbagai tindakan razia atau sweeping di tengah-tengah masyarakat yang sebenarnya hal tersebut menjadi tugas dan wewenang aparat penegak hukum," kata dia.

Kemudian pertimbangan lainnya, yakni adanya penerbitan UU Ormas untuk menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945, keutuhan NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Perimbangan berikutnya, isi anggaran dasar FPI bertentangan dengan Pasal 2 UU Ormas.

Lalu, pertimbangan berikutnya terkait dengan Keputusan Mendagri Nomor 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014 tanggal 20 Juni 2014. Keputusan Mendagri itu berisi tentang surat keterangan terdaftar (SKT) FPI sebagai ormas yang berlaku sampai tanggal 20 Juni 2019.

"Dan sampai saat ini FPI belum memenuhi persyaratan untuk memperpanjang SKT tersebut. Oleh sebab itu secara de jure terhitung mulai tanggal 21 Juni 2019 FPI dianggap bubar," kata dia.

Berikutnya, pemerintah mepertimbangkan kegiatan ormas yang tidak boleh bertentangan dengan sejumlah pasal di UU Ormas. Pasal-pasal yang disebutkan, yakni pasal 5 huruf g; pasal 6 huruf f; pasal 21 huruf b dan d; pasal 59 ayat 3 huruf 1, c, dan d; pasal 59 ayat 4 huruf c; dan pasal 82 UU Ormas.

"Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f, perlu menetapkan keputusan bersama Mendagri, Menkumham, Menkominfo, Jaksa Agung RI, Kapolri, Kepala BNPT tentang larangan kegiatan, penggunaan simbol, dan atribut, serta penghentian kegiatan FPI," jelas dia.

Pemerintah juga memutuskan, apabila terjadi pelanggaran dari keputusan tersebut, maka aparat penegak hukum akan menghentikan seluruh kegiatan yang sedang dilaksanakan oleh FPI. Pemerintah juga meminta masyarakat untuk melakukan dua hal, pertama ialah untuk tidak terpengaruh dan terlibat dalam kegiatan, penggunaan simbol, dan atribut FPI.

"Kemudian, untuk melaporkan kepada aparat penegak hukum setiap kegiatan, penggunaan simbol, dan atribut FPI," kata Eddy, sapaan Wamenkumham.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, meminta aparat pemerintah pusat maupun daerah untuk menolak segala kegiatan yang mengatasnamakan organisasi FPI. Itu mulai berlaku saat ini setelah dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI.

"Jadi dengan larangan ini tidak punya legal standing. Kepada aparat-aparat pemerintah pusat dan daerah kalau ada sebuah organisasi mengatasnamakan FPI, itu dianggap tidak ada dan harus ditolak karena legal standing-nya tidak ada. Terhitung hari ini," jelas Mahfud dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (29/12).

Pihak FPI belum merespons langkah pemerintah menerbitkan SKB pada hari ini. Namun, sebelumnya, Sekretaris Bantuan Hukum FPI, Aziz Yanuar, menegaskan, upaya pembubaran FPI tidak mencerminkan sistem demokrasi, yang selama ini dijunjung tinggi sejak era Reformasi.

Oleh karena itu, Aziz menghimbau kepada para kader FPI untuk tidak terprovokasi. Juga diharapkan untuk tenang dengan isu dan operasi cipta kondisi yang sedang berlangsung.

“Ini bukan negara otoriter, jadi, tidak bsa seenaknya atas dasar kebencian memutuskan sesukanya. Hadapi dengan tawakal kepada Allah," himbau Aziz, Kamis (24/12).

DPR beda pendapat

Ketua Fraksi Partai Nasdem DPR, Ahmad Ali setuju dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) perihal larangan aktivitas FPI. Menurutnya, tidak boleh ada satu pun golongan atau kelompok yang bertindak sewenang-wenang dan melampaui hukum.

"Organisasi Front Pembela Islam yang nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku serta asas-asas kehidupan bersama lainnya," ujar Ahmad kepada wartawan, Rabu (30/12).

Ahmad mendorong segenap aparatur negara untuk bersikap tegas dan adil dalam menegakkan hukum. Serta sigap menindak setiap potensi yang akan mengganggu ketertiban umum.

"Sepanjang tidak melanggar ketentuan yang berlaku, dalam rangka terjaganya eksistensi ideologi dan Negara Republik Indonesia," katanya.

Sementara, anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman mempertanyakan langkah pemerintah apakah sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

"Khususnya Pasal 61, yang (pembubaran) harus melalui proses peringatan tertulis, penghentian kegiatan, dan pencabutan status badan hukum," ujar Habiburokhman saat dihubungi, Rabu (30/12).

Ia juga mempertanyakan, terkait hal-hal negatif yang dituduhkan kepada FPI. Sebab pemerintah dinilainya belum mengkonfirmasi secara hukum terkait hal tersebut.

"Soal keterlibatan anggota FPI dalam tindak pidana terorisme misalnya, apakah sudah dipastikan bahwa tindakan tersebut dilakukan dengan mengatas-namakan FPI," ujar Habiburokhman.

Anggota Komisi VIII DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bukhori Yusuf menilai, dibubarkannya FPI merupakan langkah mundur bagi Indonesia. Keputusan pemerintah itu dinilai mencederai amanat reformasi.

"Langkah mundur dan mencederai amanat reformasi yang menjamin kebebasan berserikat," ujar Bukhori saat dihubungi, Rabu (30/12).

Pemerintah sebagai penguasa, dinilai memiliki kuasa untuk melakukan apa pun. Termasuk membungkam pihak yang dinilainya tak sepaham dengan pemerintah.

"Sangat leluasa menetapkan apa saja bagi ormas atau perkumpulan ketika berbeda arah politik. Khususnya sejak Perppu UU Ormas, tetapi ini semua tetap bentuk langkah mundur," ujar Bukhori.

Adapun, Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin tak berkomentar banyak perihal pembubaran FPI. Ia hanya menjawab bahwa setiap pihak harus menghormati keputusan tersebut.

"Keputusan tersebut harus dipatuhi oleh pihak manapun," jawab singkat Azis.

photo
Habib Rizieq Shihab - (republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement